Suatu hari, sepulang dari lawatan ke sebuah dusun, saya menghentikan sepeda motor butut Grand Astrea ’97 yang saya kendarai di sisi parit yang airnya sangat jernih. Saya berhenti karena ingin membuang cipratan lumpur yang menempel di sepatu yang saya pakai. Sekitar 10 meter di seberang parit ada seekor induk ayam bersama seekor anaknya, yang menurut perkiraan saya umurnya belum cukup seminggu. Anehnya, meski hanya terlihat seekor, keciap anak ayam ramai terdengar disertai kotekan induknya yang tampak panik.
Di manakah anak-anak ayam yang berkeciap ramai itu? tanya saya di dalam benak. Setelah melongok ke dalam parit yang berkedalaman tak lebih dari 40 cm dengan kedalaman air 5 cm, barulah saya tahu bahwa keciap anak ayam itu berasal dari 4 ekor anak ayam yang tercebur dan ingin keluar dari parit, tetapi tidak bisa karena dinding parit terlalu tinggi menurut ukuran tubuhnya.
Saya tangkap keempat anak ayam nahas yang masih berbulu halus tersebut, saya entaskan, lalu saya taruh di tempat terbuka kira-kira dua meter dari parit. Ketika tangan saya baru saja saya angkat setelah menaruh anak-anak ayam tadi, tiba-tiba sang induk berlari dengan kecepatan tinggi menuju ke arah saya. Saya kaget, intuisi saya sebagai orang yang tahu sedikit soal perilaku binatang, langsung menduga bahwa sang induk akan menyerang saya. Menurut text book perilaku binatang, binatang apapun cenderung agresif terhadap pengganggu anaknya. Dugaan-intuitif saya ternyata salah. Si induk sama sekali tidak mempedulikan saya, melainkan langsung mendekap keempat anaknya yang basah kuyup dan kedinginan itu dengan tubuh dan bentangan sayapnya.
Rasa kaget saya berubah menjadi rasa kagum. Kagum terhadap tindakan yang diambil si induk yang begitu tepat sesuai dengan kondisi anaknya. Anaknya basah dan kedinginan, oleh sebab itu dekapan tubuh induk yang hangat akan sangat membantu memulihkan kondisi anaknya. Saya masih penasaran benarkah si induk tidak marah kepada saya? Saya julurkan tangan kearah sang induk, ternyata si induk diam saja. Akhirnya juluran tangan yang saya maksudkan untuk menguji emosi si induk, beralih ke belaian pada kepala dan punggung si induk yang tetap diam seakan mengerti betul bahwa saya tidak akan menyakitinya. Saat membelai tubuh induk ayam yang tengah mendekap anak-anaknya dengan penuh kasih itu, tanpa sadar sudut-sudut mata saya telah basah.
Di tengah kekaguman penuh keharuan itu saya tersenyum sendiri, geli dan malu (malu terhadap ayam) mana kala mengingat cara istri saya memperlakukan anak kami ketika si anak mengalami kejadian yang kurang lebih sama dengan anak-anak ayam tersebut. Suatu sore putri kami yang baru berusia 4 tahun pulang dari bermain sambil menangis dengan pakaian kotor berlumpur dan kakinya lecet, akibat terjatuh saat berlari-lari di parit dekat persawahan. Apa yang didapat gadis kecil saya itu dari ibunya,istri saya??
”Dasar anak bandel, sudah ibu bilang jangan main dekat sawah (kompleks perumahan kami berada di dekat sawah)” bentak istri saya. Tak puas dengan bentakan itu, jari tangannya pun refleks mencubit lengan mungil puri bungsu kami tersebut. Karuan saja si anak menjerit kesakitan.
Geli dan malu, bahwa binatang yang hanya berbekal naluri mampu memberi perlakuan tepat terhadap permasalahan anaknya, sementara istri saya (manusia, cantik, berakal, dan terdidik) justru menerapkan perlakuan yang membuat trauma sang anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H