Dwi Tunggal Arjuna-Krishna
Alkisah, perang maha dahsyat antara dua kerabat dekat dari Dinasti Kuru, Pandawa versus Kurawa, tinggal menunggu waktu. Pihak Pandawa mengutus Arjuna menemui Sri Krishna, Raja Negara Dwaraka, untuk meminta nasehat dan bantuan. Mengetahui pihak Pandawa menemui Krishna, pihak Kurawa tidak tinggal diam. Maka berangkatlah Duryudana, sulung dalam keluarga Kurawa, menyusul Arjuna dengan kereta kuda paling cepat sehingga keduanya tiba di Dwaraka pada hari yang sama.
Ketika mengetahui maksud kedatangan keduanya, Sri Krishna berujar: “Kalian adalah kerabat dekatku, karena itu kalian berdua sama bagiku. Aku harus memberikan bantuan pada kalian berdua. Tetapi menurut tradisi kita, kesempatan pertama sebaiknya diberikan kepada yang lebih muda. Karena itu aku beri kesempatan pertama untuk menentukan pilihan kepada Arjuna”.
“Ada dua pilihan” lanjut Sri Krishna, “balatentara ku yang gagah perkasa, di satu sisi, atau diri ku di sisi lain. Tetapi aku tidak akan angkat senjata dan tidak akan ikut berperang. Mana yang akan kau pilih, Arjuna?” Tanpa ragu Arjuna menjawab: “Aku lebih suka engkau di pihak kami, meski tanpa senjata”.
Bukan main girang hati Duryudana mendengar pilihan Arjuna. Dalam hati dia berkata Arjuna telah bertindak bodoh, mengabaikan pasukan Narayana (bangsa yang dipimpin Krishna) yang terkenal sebagai ahli perang yang gagah perkasa.
Dalam perang dahsyat itu Sri Kishna hanya diminta oleh Arjuna untuk menjadi sais kuda kereta tempurnya. Seperti telah dikisahkan dalam Epos Mahabharata, dengan Sri Krishna menjadi kusir keretanya, Arjuna menjadi petempur yang tak terkalahkan. Pandawa pun akhirnya berhasilkan mengalahkan Kurawa.
Duwet Jokowi-Jusuf Kalla
Apa yang dialami Jokowi saat mencari dukungan dalam upaya pencapresan dirinya, kurang lebih mirip dengan kisah Arjuna dan Krishna diatas. Kubu Jokowi tentu menyadari betul arti dan harga seorang Jusuf Kalla (JK) dan Partai Golkar. Tentu harapan idealnya adalah JK dan Golkar bersama-sama bergabung. Tetapi sayang, berbagai kepentingan melahirkan banyak intrik politik sehingga dia harus memilih.Memilih antara JK (analog dengan Krishna) di satu sisi, atau Golkar dengan Abu Rizal Bakrie (analog pasukan Narayana) di sisi lain.
Beda keduanya adalah, dwi tunggal Arjuna-Krishna telah berhasil memenangi perang di medan Kurusestra, sementara Jokowi-JK masih berada dalam “peperangan”.
Terlepas dari pandangan dan selera masyarakat pemilih nantinya, sosok JK dalam duet dengan Jokowi ini bisa dianalogkan dengan Krishna. Krishna, dalam epos Mahabharata, adalah sosok yang bijaksana dan sakti mandraguna. Kekuatan seorang Sri Krishna setara dengan kekuatan seluruh balatentara Dwaraka yang dipimpinnya.
Kebijaksanaan Krishna analog dengan segudang pengalaman dalam organisasi dan birokrasi yang dimiliki JK. Dia adalah boss sebuah grup perusahaan besar, mantan menteri, mantan ketua umum partai, mantan wakil presiden, aktif dalam berbagai organisasi, seperti Palang Merah. Dengan track record seperti itu, nyaris tidak ada sosok tokoh populer dalam bursa capres saat ini yang dapat disejajarkan dengan JK dalam hal pengalaman.
Kesaktian analog dengan kekuatan. Kekuatan JK, karena dia seorang pengusaha, tentunya terletak pada kekuatan finansialnya. Selain itu, karena dia memiliki pengaruh kuat di berbagai organisasi sosial masyarakat, di dunia usaha dan politik maka sesungguhnya seorang JK memiliki kekuatan setara dengan Partai Golkar itu sendiri.
Ketika pengalaman dan pengaruh besar ada pada seseorang dan dipadukan dengan popularitas setinggi Jokowi (analog kemahiran tempur Arjuna dalam Mahabharatha) dalam bursa capres saat ini, maka di atas kertas pasangan Jokowi-JK akan melenggang mulus ke istana.
Ketika ukuran nalar dan matematika sudah berpihak, tinggal takdirlah pada akhirnya yang menjadi penentu.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H