Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Percaya Hasil Survei Abal-abal!

26 Mei 2014   23:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:05 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkat hiruk-pikuk pemilu, mulai dari pemilu kepala daerah, pemilu legislatif, hingga pemilu presiden masyarakat kita dari berbagai tingkatan sosial menjadi akrab dengan istilah elektabilitas (kecenderungan tokoh/partai untuk dipilih). Masyarakat pun jadi tahu bahwa bila  seorang  tokoh atau partai dikatakan memiliki elektabilitas tinggi maka artinya orang/partai tersebut banyak yang menginginkannya untuk terpilih.

Masyarakat pun umumnya tahu bahwa tingkat elektabilitas tersebut ditentukan melalui kegiatan, yang istilahnya juga sudah sangat akrab di telinga masyarakat,  yaitu jajak pendapat  atu survei. Yang tidak diketahui masyarakat, terlebih masyarakat awam, adalah bagaimana cara melakukan survei tersebut.  Akibatnya, tidak jarang masyarakat jadi bingung. Kok ada hasil survei yang akurat, tetapi banyak pula yang meleset, bahkan ada yang salah total.

Di sinilah relevannya mengelompokkan survei kedalam dua golongan:  survei abal-abal dan survei  yang benar.

Survei abal-abal

Survei abal-abal adalah survei yang dilakukan dengan motif yang salah dan metode yang lemah. Yang dimaksud motif di sini adalah kepentingan.  Berdasarkan kualifikasi yang dimiliki, boleh jadi  orang/lembaga  pelaksana sebuah survei sangat hebat. Tetapi, karena kegiatan survei hanya dianggap sebagai jasa komersial  yang berorientasi profit  dan kepuasan pelanggan, seringkali si pelaksana survei harus memodifikasi metode.

Metode dirancang  sedemikian rupa agar hasil survei bisa membuat senang si pemesan. Ketika menetapkan sampel misalnya, si pelaksana  survei  hanya memilih kelompok orang yang secara kasat mata pro ke si pemesan  (sang calon).

Contoh 1. Pelaksana survei memanipulasi data responden. Si calon yang memesan survei, sebut saja si Anu,  adalah tokoh dengan latar belakang suku S,  beragama A. Hasil survei menunjukkan bahwa 70% responden menginginkan si Anu jadi presiden.

Untuk menjustifikasi bahwa hasil surveinya valid pelaksana survei memaparkan bahwa respondennya telah mewakili semua golongan masyarakat. Ada petani, buruh, PNS, wiraswasta, dan profesional; ada remaja, kaum muda, dan tua; pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Tetapi si pelaksana menyembunyikan latar belakang suku dan agama para responden.

Karena di Indonesia ini suku dan agama masih dijadikan dasar masyarakat memilih pemimpinnya, maka responden yang terdiri dari berbagai golongan profesi, umur, dan pendidikan tadi tidaklah mewakili heterogenitas masyarakat yang sebenarnya. Boleh jadi 70% responden yang menginginkan si Anu jadi presiden itu adalah bersuku S dan juga beragama A. Padahal, realitas masyarakat terdiri dari beragam suku dan agama juga.

Contoh 2. Pelaksana survei menggunakan pertanyaan yang memfokuskan  si  responden pada hal positif dari salah satu calon saja. Misalnya, ada dua kandidat calon presiden sebut saja Si X dan si Y. Kedua calon sudah dikenal publik memiliki watak yang berbeda.

Si X bersifat lantang ketika bicara,  jujur, berani, dan tegas. Sementara si Y sebaliknya. Jika si X yang memesan survei maka si pelaksana survei abal-abal biasanya akan menggunakan pertanyaan seperti ini sebagai pertanyaan kunci dan pemungkas: Siapakah diantara dua capres kita yang memiliki sifat jantan,  tegas, dan berani?  Pilihan jawabannya:  a. Si X      b. Si Y

Tentu karena pertanyaannya tidak memunculkan sifat-sifat positif dan nilai lebih dari  si Y, maka si X lah yang akan dipilih oleh responden.

Survei yang benar

Sedangkan survei yang benar adalah survei yang dilakukan dengan jujur, metodenya kuat. Jujur artinya tidak tendensius, tidak memihak, tidak menggiring. Metode yang kuat artinya instrumen dirancang agar semua calon mendapat posisi imbang dalam pertanyaan. Sebaran sampel (responden) haruslah benar-benar mewakili seluruh elemen kebangsaan. Semua jenis kelamin, umur, suku, agama, pendidikan, dan pekerjaan mestilah terwakili. Sebaran geografis tempat tinggal desa dan kota; wilayah Indonesia barat, timur, dan tengah harus pula disasar.  Hanya jika semua elemen masyarakat terwakili, hasil survei akan akurat untuk dijadikan pengukur elektabilitas dan alat prediksi kemenangan yang akurat.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun