Dalam masa kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2014 ini ada dua kejadian sensitif yang menyeret institusi dan keluarga besar TNI. Pertama, peristiwa “tertangkap-tangannya” oknum Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang diduga melakukan pemetaan (survei) preferensi pemilih. Kedua, peristiwa bocornya surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) tentang pemberhentian Letjen (Purn) Prabowo Subianto (Capres) dari dinas kemiliteran.
Lepas dari benar-tidaknya (sengaja atau kebetulan, diakui atau disangkal) TNI secara institusional terlibat dalam dua kejadian tersebut, yang pasti kedua peristiwa itu menggambarkan soliditas TNI dan keluarga besar TNI rapuh. Kerapuhan soliditas keluarga TNI inilah yang membuat kita, sebagai rakyat, patut bersedih.
Mengapa menyedihkan?
TNI adalah salah satu (jika bukan satu-satunya) lembaga di republik ini yang masih dapat dijadikan model standar dalam hal struktur dan pengelolaan organisasi. Buktinya, banyak organisasi (pemerintah dan non pemerintah) di negeri ini yang mengadopsi model birokrasi dan gaya kepemimpinan di tubuh TNI. Birokrasi dan kepemimpinan ala TNI terbukti efektif untuk menciptakan budaya kerja yang cepat dan efisien serta membentuk aparatur yang loyal dan berdisiplin tinggi.
Nah, kasus Babinsa dan kebocoran surat DKP menunjukkan adanya kecacatan dalam budaya kerja, loyalitas, dan disiplin aparatur di organisasi TNI. Jika lembaga panutan (TNI) saja gagal menjaga dan mempertahankan nilai-nila keunggulan birokrasi dan gaya kepemimpinannya, bagaimana dengan lembaga-lembaga penirunya.
Di luar itu, yang lebih menyedihkan adalah, bagaimana mungkin TNI bisa dijadikan tumpuan untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan negara (NKRI) bila dalam organisasinya sendiri masih banyak cacatnya. Bocornya dokumen internal yang bersifat rahasia ke publik adalah bukti ada kelemahan dalam birokrasi. Mencuatnya kasus Babinsa merupakan bukti adanya kelemahan kepemimpinan pada tingkatan tertentu di tubuh TNI.
Mengapa mengkhawatirkan?
Keluarga besar TNI baik anggota aktif maupun pensiunannya yang tergabung dalam Pepabri seyogyanya tetap memegang teguh Sapta Marga dan Sumpah Prajurit hingga akhir hayat.
Sapta Marga
1.Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila.
2.Kami Patriot Indonesia, pendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.