Mohon tunggu...
Andhika Alexander
Andhika Alexander Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Profesi Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sensasi Jembatan 4 Abad: Jembatan Kota Intan

10 November 2014   23:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:08 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1415613164397744173

Waktu magang saya di Jakarta hanya tersisa 6 minggu saja sebelum harus kembali ke Semarang dan melanjutkan Tesis. Saya pun memanfaatkan waktu untuk mengunjungi berbagai tempat sejarah di kota yang dulu dikuasai oleh Pangeran Jayakarta ini. Maklum, kesibukan di kantor membuat semangat saya untuk hunting foto berkurang. Tapi, minggu ini, haruslah hunting. Yuuukkk...

Saya mengunjungi Jembatan Kota Intan. Jembatan ini terletak di daerah Kali Besar, Jakarta Utara. Untuk menemukan Jembatan Kota Intan sangatlah mudah. Jika sedang berada di kawasan Museum Fatahillah, Anda cukup berjalan kaki kurang lebih 10 – 15 menit. Untuk arahnya, silahkan tanya ke warga sekitar. Namun, sebaiknya Anda tidak berjalan sendiri sehingga tidak ngaplo atau suwung (bosan berjalan sendiri). krik krik banget jika Anda sendirian. Ciyus! Untung saat kesana, saya ditemani teman kos yang ternyata suka hunting foto plus narsis juga! Willy namanya.

Kawasan Jembatan Kota Intan sudah dibuat tempat pariwisata dan dikelilingi oleh pagar. Tapi, saya ingin mengomentari sedikit tentang entrance fee atau biaya masuk. Willy lebih dulu masuk ke kawasan tersebut. Sedangkan saya masih mengambil beberapa gambar dari seberang Jembatan tersebut. Saat masuk, saya ditagih oleh seorang Ibu sejumlah uang.

“Uang kebersihannya donk.”, minta ibu dengan menggunakan baju kaos berwarna abu-abu.

“Berapa, Bu?” tanya saya. Memang tidak heran jika dikawasan seperti ini pasti ada biaya masuknya.

“2500” kata Ibu tersebut.

Saya pun menyerahkan uang Rp3000,00. Sambil menunggu kembalian, saya memperhatikan ID-Card si Ibu yang sudah tidak terlihat jelas namun tetap dikenakannya di bagian dada. Saya pun langsung memasuki kawasan tersebut. Willy langsung menghampiri saya dan menanyakan apakah diminta bayar oleh si Ibu. Saya menjawab ia. Ia menyatakan, hanya membayar Rp2000,00 saja karena Willy tidak memiliki uang Rp2500,00.

Memang sih masalahnya simple, Rp500,00 “saja”. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, “kok bisa standar untuk masuk ke kawasan wisata tidak ada? Meskipun permasalahnnya pada Rp500,00 saja, bukankah tetap harus ada standar biaya masuknya?” Tapi, sudahlah, pikir saya. Yang penting, saya bisa menikmati keindahan sejarah Indonesia yang begitu indahnya.

Oh ya! Daritadi, saya menyebut Jembatan Kota Intan, tapi belum menjelaskan secara detil apa itu Jembatan Kota Intan. Baiklah, saya akan mengutip penjelasan tentang Jembatan Kota Intan yang terpajang di kawasan tersebut, supaya Anda mengetahui cerita tentang Jembatan Kota Intan berdasarkan fakta yang akurat dari penyelenggara wisata tersebut...Cekidot...

Jembatan Kota Intan dibangun oleh VOC (Coba googling apa itu VOC. Intinya, VOC itu adalah perusahaan dagang Kerajaan Belanda zaman dulu) pada tahun 1628. Jembatan ini hampir sama dengan jembatan pada umumnya, yaitu menghubungkan suatu daerah dengan daerah lain. Jembatan ini menjadi penghubung antara Benteng Belanda dan Benteng Inggris yang berseberangan, dibatasi oleh Kali Besar. Awalnya, jembatan ini dinamakan Engelse Burg atau Jembatan Inggris.

Tahun 1628 dan 1629, Banten dan Mataram menyerang Benteng Batavia sehingga mengakibatkan jembatan ini rusak. Setahun kemudian, jembatan ini kembali dibangun oleh Belanda dan dinamakan de Hoenderpasar Brug atau Jembatan Pasar Ayam karena lokasi di sekitarnya menjadi tempat perdagangan ayam. Jembatan Kota Intan adalah nama terakhir yang diberikan karena letaknya dekat dengan salah satu bastion Kastil Batavia yang bernama Bastion Diamant (Intan). Kastil Batavia yang merupakan kota tua Batavia, disebut juga sebagai Kota Intan.

Dulu, ada banyak jembatan sejenis di Batavia dan dibangun dengan gaya tradisional Belanda. Banyak kanal dibangun Belanda di Batavia, sebagai pengaturan tata-air maupun untuk transportasi sungai. Akibatnya, banyak pula diperlukan jembatan penghubung. Tahun 1655, jembatan ini kembali diperbaiki karena kerusakan akibat banjir dan korosi air laut. Namanya pun diubah menjadi Het Middelpunt Burg.

Tahun 1938, jembatan ini diubah menjadi jembatan gantung, agar dapat diangkat untuk lalu lintas perahu dan mencegah kerusakan akibat banjir. Namun, bentuk dan gayanya tidak pernah diubah. Namanya pun kembali berganti menjadi Ophalsburg Juliana atau Juliana Bernhard, karena waktu itu Ratu Juliana yang menjadi Ratu Belanda.

Saat ini, Jembatan Kota Intan merupakan satu-satunya yang tersisa dari jembatan sejenis yang pernah dibangun Belanda.

Jadi, jika Anda ingin mengabadikan diri dan merasakan berdiri di Jembatan yang sudah berusia lebih dari 4 abad ini, silahkan datang ke Jembatan Intan. Rasakan sendiri bagaimana sensasi sejarah di tahun 1600an ini.

Warmest Regards,

Andhika Alexander Repi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun