Mohon tunggu...
Kandung Supriyono
Kandung Supriyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang guru SMP yang ditugasi sebagai pengaws sekolah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

MBS dan Ujian Nasional

26 April 2012   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:05 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pelaksanaan ujian nasional sudah dimulai bulan Maret  2012 yang lalu.  Berkaitan dengan ujian nasional yang selanjutnya di sebut UN, setidaknya ada tiga agenda utama pembicaraan masyarakat pendidikan; pertama mempersiapkan pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan oleh sekolah. Sukses penyelenggaraan dan sukses hasil menjadi target utama. Kedua adalah kekhawatiran tidak lulus UN dari peserta didik dan orang tuanya. Hal ini mendorong mereka untuk menempuh berbagai cara untuk bisa lulus UN. Yang ketiga tidak kalah serunya adalah sekelompok LSM yang mempermasalahkan tentang legalitas penyelenggaraan UN yang dianggap tidak sesuai dengan undang-undang termasuk di dalamnya kebijakan otonomi pendidikan yang dikenal dengan manajemen berbasis sekolah atau MBS.

Sukses penyelenggaraan dan sukses hasil UN sudah barang tentu disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing. Guru mencemaskan nama baiknya, mereka sangat terbebani bila anak didiknya banyak yang tidak lulus UN, (padahal lebih banyak guru yang tidak mengajarkan mata pelajaran UN).  Pihak sekolah yang dikomandani oleh kepala sekolah, di samping akan menanggung rasa malu, juga akan menerima dampak berkurangnya animo calon siswa memasuki sekolah tersebut pada tahun pelajaran berikutnya. Di beberapa daerah, sekolah, termasuk guru di dalamnya akan terancam “karirnya”  bila banyak siswanya tidak lulus ujian. Berbeda dengan sekolah, kepala dinas pendidikan, bupati, gubernur,  menteri pendidikan, bahkan presiden juga memiliki misi tersendiri. Karena mereka adalah pejabat politis maka kepentingan sukses UN tentu juga erat dan tidak bisa lepas dengan politis.

Sebenarnya bagi kebanyakan siswa UN tidak terlalu menakutkan, karena UN adalah satu kegiatan yang menjadi satu kesatuan dan konsekuensi menuntut ilmu. Di samping itu ada pula yang tidak terlalu khawatir terhadap hasil UN karena menurut pengalaman, siswa yang tidak lulus pun baik-baik saja. Mereka toh masih diusahakan jalan keluarnya agar mereka mendapatkan tiket masuk pendidikan yang lebih tinggi. UN ulangan dan ujian kesetaraan atau kejar paket yang menyediakan gerbong didesain khusus bagi siswa yang tidak lulus UN.

Dibandingkan siswa sendiri, orang tua mungkin lebih terbebani ketika anaknya menghadapi UN. Sebagian orang tua rela mengeluarkan uang lebih agar anaknya bisa lulus UN dengan mengikutkan anaknya pada lembaga bimbingan belajar yang “menjamin” anaknya lulus UN. Kecuali khawatir anaknya tidak lulus, ada juga yang mencemaskan nilai yang diperoleh sebagai tiket untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik setelah lulus ujian.

Menggugat legalitas penyelenggaraan UN yang dianggap tidak sesuai dengan undang-undang tidak hanya sebatas wacana atau pembicaraan, tetapi sudah sampai pada ranah hukum. Salah satunya adalah gugatan terhadap pemerintah telah dimenangkan dan memaksa pemerintah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sebenarnya meskipun putusan MA menolak kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah, masih menuai pro dan kontra serta membuahkan perbedaan penafsiran.  Ada yang mengartikan bahwa MA melarang pemerintah melaksanakan UN, seperti dilansir sebuah situs blog (Nusantaraku, 2009). UN dinilai cacat hukum dan pemerintah dilarang menyelenggarakan UN. Batas waktu pelarangan UN ini berlaku sejak keputusan ini dikeluarkan dan sebagai konsekuensinya pemerintah ilegal melaksanakan UN 2010. Pemerintah baru diperbolehkan melaksanakan UN setelah berhasil meningkatkan kualitas guru, meningkatkan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi yang lengkap merata di seluruh daerah.

Sementara itu menurut LPMP Jawa Tengah (LPMP Jawa Tengah, 2009) dalam diktum putusan pengadilan sama sekali tidak ada amar yang memerintah pemerintah membatalkan pelaksanaan UN yang akan datang. Ada enam amar putusan pengadilan tersebut. Pertama, mengabulkan gugatan subsider para penggugat. Kedua, menyatakan para tergugat (presiden RI, wakil presiden RI, Mendiknas, dan ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia yang menjadi korban ujian nasional, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak. Ketiga, memerintah para tergugat meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi di berbagai sekolah sebelum melaksanakan ujian nasional. Keempat, memerintah para tergugat mengambil langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan unas. Kelima, memerintah para tergugat meninjau kembali sistem pendidikan nasional. Keenam, menghukum para tergugat membayar biaya pekara Rp 374.000.

Ketika penggugat merujuk pada undang-undang sistem pendidikan nasional (UUSPN) pasal 58 ayat 1 yang mengatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, mereka melupakan ayat 2 yang berbunyi “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”. (UUSPN, 2003) dan itu yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah sebagai model pengelolaan yang memberikan otonomi kepada sekolah, memberikan fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua peserta didik, alumni, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kemdiknas, 2011)

Ada empat kata kunci dari definisi tersebut, pertama model pengelolaan yang memberikan otonomi kepada sekolah. Dengan otonomi, sekolah diberikan bukan saja kewenangan tetapi juga tanggung jawab dari  yang diakibatkan atau dihasilkan dengan kewenangannya tersebut. Sekolah diharapkan mampu mengelola sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya untuk lebih diberdayakan.

Kedua,  fleksibilitas dan mendorong partisipasi. Karena dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya itu diberi keluwesan, disesuaikan dengan kondisi sekolah, dengan potensi sekolah dan daerah, dengan dana yang tersedia, dan sebagainya,  maka diharapkan lebih bisa menarik partisipasi dari warga sekolah dan stake holder, karena pendidikan juga merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat (UUSPN, 2003) Semua merasa memiliki, memelihara dan bertanggung jawab atas keputusan dan kebijakan yang ditentukan.

Dalam memberdayakan sekolah diperlukan hal-hal seperti pemberian tanggung jawab, pekerjaan yang bermakna, memecahkan masalah pekerjaan secara “team work”, variasi tugas, hasil kerja yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerjanya sendiri, tantangan, kepercayaan, didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian penting dari sekolah, kontrol yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif, umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah diperlakukan sebagai manusia ciptaan-Nya yang memiliki martabat yang tinggi. (Slamet PH, 2000; Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 2000)

Yang ketiga adalah  meningkatkan mutu. Fokus utama dari  pengelolaan dan pemberdayaan adalah tercapainya visi, misi dan tujuan sekolah yang semuanya adalah suatu yang bermutu. Dengan menerapkan prinsip keefektifan, efisiensi dan ekonomis secara simultan maka semua kegiatan akan terlaksana dengan baik dan muaranya adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan.

Kata kunci keempat kebijakan pendidikan nasional. Karena Indonesia adalah negara kesatuan, maka otonomi luas yang diberikan harus tidak lepas dari NKRI. Pemerintah pusat dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan menetapan standar dan kriteria serta beberapa input seperti standar nasional pendidikan (Depdiknas, 2003), dan pendanaan. Ini yang harus dimengerti dan dilaksanakan oleh seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola  sumber daya yang disiapkan oleh pemerintah, tentu saja juga memiliki  tanggung jawab untuk membayar tagihannya, yang satu di antaranya mencapai standar dari kriteria yang ditetapkan pemerintah pusat.

Hubungan MBS dengan Ujian Nasional

Bila UN dianggap sebagai tagihan atas kewenangan sekolah mengelola sumber daya yang diberikan oleh pemerintah dengan standar dan kriteria yang ditetapkan, maka menyukseskan UN adalah satu keniscayaan. Kesuksesan itu mesti saja bukan hanya berorientasi hasil yang mengabaikan proses, tetapi terlaksananya satu sistem yang utuh meliputi input, proses, output, dan lebih luas lagi outcome dan dampaknya.

Karena salah orientasi, di mana hasil yang menjadi panglimanya, tidak jarang proses diabaikan. Ketika tahapan-tahapan dalam proses diabaikan maka sedikit demi sedikit serangkaian proses tersebut juga dilupakan. Sebagai akibatnya sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, yang tadinya hanya melupakan sedikit, tetapi karena melupakannya sangat sering maka yang diabaikan dan dilupakan menjadi banyak. Bisa juga yang dilupakan atau yang diabaikan adalah hal lain yang sebenarnya dalam pembagian kewenangan juga diserahkan kepada sekolah, misalnya ujian sekolah.

Sekelompok orang, yang di dalamnya juga terdapat komunitas guru sering melupakan bahwa sekolah juga diberikan kewenangan untuk menguji dan menentukan kriteria kelulusan. Dalam hal ini guru menyusun silabus, rencana pembelajaran, dan perangkat penilaian, serta melaksanakannya. Ini kewenangan guru, hak guru, tetapi dalam pelaksanaannya sering guru secara berjamaah dengan sengaja dan kesadaran penuh tidak bertanggung jawab dan membuang serta menolak hak tersebut. Ujian sekolah dilaksanakannya hanya sebagai formalitas saja. Anehnya mereka secara koor mengatakan bahwa UN adalah satu-satunya penentu kelulusan. Belajar tiga tahun hanya ditentukan dengan empat hari ujian. Padahal hal itu disebabkan karena guru tidak menggunakan hak dan kewenangannya, mengumpulkan data-data prestasi selama proses belajar.

Lebih ironis lagi adanya pernyataan yang mengatakan bahwa pendidikan moral, akhlak, sikap, budaya adiluhung dilupakan hanya semata-mata karena sekolah fokus pada UN. Pada kesempatan yang sama mereka khawatir tentang keberhasilan UN, padahal logikanya bila sekolah memusatkan perhatiannya pada UN maka sekolah, kekhawatiran gagalnya UN tidak perlu ditakutkan. Yang terjadi adalah UN bermasalah, urusan moral, akhlak, sikap, budaya adiluhung yang belakangan dimunculkan dengan pendidikan karakter, juga gagal diinternalisasi kepada peserta didik. Bagaimana akan menanamkan karakter kepada peserta didik kalau kecurangan demi kecurangan demi “sukses” UN dilembagakan oleh sekolah?

Ketika kecurangan itu tercium, dan muncul ketidakpercayaan publik terhadap pelaksanaan dan hasil UN, dibentuklah pengawas independen yang mengawasi pelaksanaan UN di sekolah. Tidak tanggung-tanggung karena tim ini dibentuk dari bahan baku dosen dan unsur LPMP. Meski demikian, usaha ini bisa dikatakan gagal total karena berbagai hal. Berbagai modus kecurangan baru semakin canggih, di luar kemampuan dan keberanian pengawas independen membuktikan kecurangannya. Atau juga pengawas independen memang sudah dianggap tidak ada, karena kalau toh mereka tahu juga tidak akan berani melaporkannya kepada pihak berwajib. Atau menurut keyakinannya, kalau pun dilaporkan juga tidak akan diproses sebagai mana mestinya, dan segera akan dilupakan seiring berlalunya UN, dan pelaksanaan UN selanjutnya.

Buruk muka cermin dibelah.

Ungkapan ini mungkin pas bila dipergunakan untuk menggambarkan penolakan penyelenggaraan UN. Peserta didik yang tidak siap, peserta didik yang tidak lulus UN, sekolah yang tidak melaksanakan fungsinya dengan baik, sekolah yang hasil UN nya tidak baik,  dan lain-lain, cenderung menyerang pelaksanaan UN dengan mengkambing hitamkan isu bahwa UN tidak relevan dengan MBS. Isu kewenangan menguji juga dimunculkan.

Tujuan dan upaya mencapainya.

Kehidupan diciptakan oleh-Nya serba berpasang-pasangan (sebab-akibat) dan oleh karenanya membuat sebab yang baik adalah suatu keniscayaan agar akibatnya juga baik. Makna lain, diperlukan koleksi dari sejumlah tujuan yang ingin dicapai (sebab) dan sejumlah upaya untuk mencapai tujuan tersebut (akibat) (Slamet-PH). Maka di dalam MBS tersebut seharusnya dipergunakan untuk merancang sebab (visi, misi, tujuan) yang sebaik-baiknya dan secara team work memberdayakan sumber daya yang ada guna mengupayakan pencapaiannya adalah sebagai akibatnya. Kalau kita menghendaki peserta didik yang memiliki kualitas prima, cerdas, terampil, tangguh dan berakhlak mulia, diharapkan sebagi sebab, maka kerja cerdas, kerja cepat, dan kerja tepat adalah akibat yang paling logis.

Sebaliknya, yang tidak boleh terjadi (meskipun sudah terjadi) bila sebabnya adalah menghujat sistem yang ada, maka sebagai akibatnya adalah membuat pembuktian agar sistem benar-benar jelek atau supaya kelihatan jelek. Bila menolak UN sekecil apapun, maka sebagai akibatnya adalah mencari pasal kekurangan, kelemahan, ketidak adilan, kemahalan, dan keburukan UN. Dengan demikian ada yang salah dari implementasi MBS di sekolah. Semoga kita dijauhkan dari perilaku ini.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. (2003). UUSPN. Jakarta: Kemdiknas.

Kemdiknas. (2011). Manajemen Berbasis Sekolah di SMP pada Era Otonomi Daerah. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional.

LPMP Jawa Tengah. (2009). Dipetik April 1, 2012, dari http://lpmpjateng.go.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=252:paradoks-putusan-kasus-unas&catid=93:ruang-guru&Itemid=118

Nusantaraku. (2009, 11 25). Dipetik April 1, 2012, dari http://nusantaranews.wordpress.com/2009/11/25/mahkamah-agung-larang-ujian-nasional-un-2010/

Slamet-PH. (t.thn.). 61 Kunci Untuk Sukses Dalam Kehidupan.

UUSPN. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekneg . Sekneg RI.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun