Mohon tunggu...
Iskandar R Asyahi
Iskandar R Asyahi Mohon Tunggu... -

Ayahku Ramli Abusyahi dari Lhoksukon, Ibuku Maryani Ali dari Meureudu, Istriku Ubiet Junita Sari dari Montasiek. Semuanya nama tempat di Aceh. Anakku Nada Aliefya Safira, Fatih Muhammad Aufa dan Fahri Muhammad Azzam. Semata karena-NYA aku sempat berada di stpdn, unibraw, unsyiah dan ui. KarenaNYA aku berbuat dan kepadaNYA aku menuju

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Terbiasa Instan, Meskipun untuk Urusan Kampiun Bola Kaki

7 September 2011   05:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pemikiran saya bertolak dari cita rasa permainan sepakbola level tinggi yang terlanjur tertanam di benak, akibat kemudahan mendapatkan suguhan permainan tim-tim club sepakbola ternama di kompetisi Liga Champion Eropa, Liga Inggris, Liga Spanyol dan beberapa liga lainnya yang dipersembahkan stasiun televisi swasta.

Permainan kompak, elegan, stabil,ciamik dan ngotot meraih kemenangan yang diperagakan oleh pemain-pemain asing di kompetisi liga negara eropa memastikan informasi bahwa bermain bola berprestasi mengharuskan adanya skill individu level tinggi, daya tahan fisik dan mental selama 2 X 45 menit ditambah 15 menit masa istirahat, kebersamaan dan kekompakan antar pemain, postur fisik yang handal. Diluar itu, polesan pelatih hanya ramuan ekstra.

Yang menjadi kegusaran saya adalah kita terlanjur mengandalkan metode instan untuk urusan apapun, termasuk urusan prestasi cabang olahraga sepak bola. Dalam kehidupan sehari-hari, lazim berlaku kapan perlu barang, maka barang itu dicari. Kepentingan menjadi basis bergaul, saat tak ada lagi kepentingan maka seseorang ditinggalkan adalah hal lumrah di negeri pragamatis. Untuk hal ini, tak tabu untuk menggelontorkan uang jumlah besar. Singkat kata semua bisa dibeli. Beli suara dalam pemilu, beli hukum dari para penegak hukum, beli proyek pemerintah di sidang-sidang anggaran, beli dan beli..Nah sekarang belilah, prestasi sepakbola wahai para pemimpin, elit dan pengusaha kaya!

Membentuk timnas yang mampu bermain selayaknya permainan club-club berprestasi dunia, tak dapat dengan cara instan. Permainan sepakbola nan cantik yang diperagakan club-club beken dunia, adalah buah dari pencarian dan pemolesan manusia-manusia yang berbakat di bidang olahraga sepakbola. Sederhana saja, untuk memudahkan analisa katakan usia pemain-pemain top saat ini adalah berkisar antara 20-25 tahun. Mereka lahir sekitar tahun 1986, saat mana Piala Dunia digelar di Mexiko. Tahun 1990, saat mana mereka berusia 4 hingga 10 tahun bakat mereka sudah terpantau oleh orang tuanya. Dapat saja si orang tua mengantarnya ke akademi sepakbola terdekat dengan kediamannya. Turnamen usia sebaya yang digelar antara club akademi sepakbola dapat mengangkat nama-nama mereka secara gradual hingga menginjak remaja untuk memasuki level kompetisi yang lebih tinggi di club-club profesional.

Pertanyaannya sekarang, apakah tahun 1990 negeri ini masih bertempur dalam perang revolusi dengan Belanda? Mengapa proses ini itu tak berlangsung? Saya yang memasuki usia 40 tahun saja masih dapat mengingat jelas semua peristiwa yang pribadi saya alami di tahun 1990. Artinya, serasa tahun 1990 itu baru berlangsung seakan kemarin saja. Andaikan proses pembibitan dan pengembangan bibit itu benar-benar berlangsung secara sistematis dalam lingkungan kehidupan masyarakat Indonesia maka hari ini kita kita akan mendapat sebuah tim yang memenuhi unsur-unsur yang saya sebutkan di atas.

Apakah anda menggusarkan persoalan tinggi postur tubuh kita yang kalah bersaing untuk bola-bola tinggi? Seperti dua gol pertama yang tercipta dari bola-bola mati timnas Iran? Soal ini mudah sekali di “treatment” bilamana masa-masa pertumbuhan bocah berbakat berada dalam kawalan ahlinya. Dengan gizi terbaik yang dipadukan dengan perangsangan tinggi tubuh melalui pola gerak tubuh yang tepat dan berkelanjutan. Bagaimana kawalan itu? Bila terwujud sebuah sistem sosial kompetisi olahraga sepakbola yang tepat, kompetitif dan memiliki dimensi keuntungan finansial. Maka akademi sepakbola club-club ternama di Indonesia dapat berinvestasi guna meraih laba. Mereka menyatukan bocah-bocah berbakat se Indonesia untuk diangkat menjadi anak asuh secara resmi dan profesional. Pemilik dan pengurus akademi sepabola dapat memberi mereka sepaket pendidikan formal dan kepelatihan sepakbola yang terpadu. Bila kelak mereka tak menunjukkan potensi yang menggembirakan di bidang ini. Toh mereka masih dapat melanjutkan hidup dengan sederet bekal pendidikan formalnya. Lihat cara akademi sepakbola La Masia, milik Barcelona FC. Mereka mengambil Leonel Messi yang berbakat namun memiliki masalah dengan kesehatannya sejak usia bocah.

Bila tahun 1990, semua ilustrasi di atas berjalan maka hari ini kita dapat menyaksikan level permainan Timnas PSSI yang jauh lebih baik. Bila hari ini tak dimulai, percaya sajalah bahwa tahun 2031 sekalipun Timnas PSSI tidak jauh beda dengan yang hari ini kita saksikan.

Persoalan ini harus mengalir dan berkembang dari segelintir rakyat Indonesia yang bermoral, cerdas, elit dan berpengaruh. Jangan harap kita-kita yang disibukkan dengan mencari duit untuk mengepulkan asap dapur sempat berbuat untuk menciptakan sistem sosial olaharaga sepakbola yang komersil. Kita hanya penikmat..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun