Kota Purbalingga geger! Hari Selasa (23/12) kemarin, sekelompok orang yang menamakan diri mereka komunitas “Setra Ganda Mayit” berkeliaran di jalan-jalan protokol. Mereka menyeringai menakut-nakuti warga yang berada di pinggir jalan. Sesekali, sosok-sosok berpakaian compang-camping dan beraroma mistis itu melakukan gerakan ritmis melalui tangan, kaki, dan kepala mereka.
Komunitas tersebut bukanlah satu-satunya kelompok yang membuat kota Purbalingga hingar-bingar pada siang yang terik itu. Ada kira-kira 54 grup yang “berkorban” demi terselenggaranya pesta rakyat menyambut Hari Ulang Tahun Kabupaten Purbalingga yang ke-184. Mereka terdiri dari komunitas seni sungguhan seperti teater, kenthongan thek-thek, sanggar tari, rombongan jaran kepang, dan juga para pegiat seni yang berlatar belakang institusi-institusi pendidikan.
Pemerintah kabupaten menamai kegiatan itu sebagai “Pawai Budaya”. Sebuah even yang membuat banyak orang, termasuk saya yang gaul dan suka kelayapan, menjadi terbengong-bengong. Bukan karena sangat kagum, melainkan kaget sebab tak pernah menyangka bakal ada acara besar di hari itu.
Dalam hati saya mengomeli pegawai kabupaten bagian humas yang tak memasang spanduk pengumuman di depan rumah saya. Atau di alun-alun kecamatan. Atau di warung mendoan langganan.
Keleleran? Itu Derita Lo!
Oleh sebab terdapat puluhan kelompok yang berpartisipasi pada kegiatan akbar tersebut, adalah sebuah keniscayaan jika akhirnya ada jatuh “korban”. Pawai Budaya ini adalah karnaval yang menggunakan sistem antrian sesuai dengan nomor urut yang diberikan. Sementara, rute yang dilewati bisa dibilang relatif dekat.
Jadi, apabila kelompok Anda adalah peserta nomor urut 1, maka ketika telah sampai di garis finis, Anda bisa melenggang kembali menuju tempat start untuk menonton – dengan jarak sangat dekat – grup nomor urut 15 bersiap-siap unjuk kebolehan, tentunya sambil melucuti baju karnaval yang membuat gerah, sambil menyedot es dawet dingin-segar dalam bungkus plastik di bawah terik matahari yang menyengat, lalu menelepon seseorang dengan suara keras, “Inyong uwis rampung kiyeh, wis teyeng bali! Mamake sida diolih-olihna kembang gula Davos apa ora? Apa frait ciken baen?”
Tak lupa kemudian Anda pun bersendawa.
Saya menyaksikan sendiri betapa “race director” alias petugas yang mendapat otoritas untuk mengatur antrian sempat senewen ketika terjadi sedikit kekacauan. Beliau menghukum sebuah kelompok seni dengan membuat mereka terpaksa mengalah dan “disalip” peserta di belakangnya. Pak Petugas menuduh rombongan yang malang itu sebagai biang keladi keruwetan antrian. Saya trenyuh melihat para orang tua dalam kelompok terhukum itu kebingungan untuk menjelaskan kejadian tersebut kepada para anggota grupnya: bocah-bocah polos yang terlihat bangga dengan kuda lumping yang dinaikinya.
Siap-siap saja Anda “berlinang air mata” ketika melihat foto-foto ini:
Perasaan yang Campur Aduk
Pawai Budaya, bagaimanapun, akan selalu membawa keceriaan dan kegembiraan. Pun yang terjadi dan dirasakan oleh warga Purbalingga. Ribuan orang dengan kostum unik, menarik, indah, glamor, dan meriah, mampu membius ribuan penonton. Terhibur? Pastinya!
Lalu adakah peristiwa lucu?
Jadi, ketika sekelompok peserta yang mendapatkan nomor urut 54 melintas di depan meja “race director”, para petugas yang bekerja di bagian embarkasi jamaah pawai itu terlihat lega. Kami dan mereka menyangka seluruh peserta telah diberangkatkan semua. Lalu tanpa dikomando, saya dan ratusan penonton lain yang menyaksikan karnaval di area tersebut segera membubarkan diri. Namun tak lama kemudian seorang petugas berteriak-teriak lewat pengeras suara untuk memberitahukan bahwa masih ada satu rombongan lagi yang akan lewat.
Rupanya sebuah komunitas bernama “Kusuma Carangga” bernomor urut 53 menjadi back marker pesta rakyat itu. Saya berempati dan mengambil gambar mereka barang satu atau dua jepretan, dengan latar belakang yang agak senyap tentu saja. Lalu saya mengobrol ngalor-ngidul dengan seorang tetangga yang tak sengaja bertemu. Lima menit, sepuluh menit, seperempat jam. Obrolan sedikit terusik dengan datangnya sebuah mobil keren yang dikendarai oleh seorang siswa taruna dan melaju agak mepet dengan posisi kami. Saya kembali mengomel dalam hati, juga sedikit berburuk sangka bercampur iri hati melihat anugerah komplit calon perwira itu: masih sekolah saja sudah bermobil kemana-mana.
Tak disangka, dari kejauhan tiba-tiba terdengar suara gending dan nyanyian lagu Jawa. Astaga! Peserta dengan nomor urut 52 itu baru saja sampai di tempat start. Sungguh malang, kelompok seni dengan anggota gadis-gadis cantik ini harus mendapati panggung karnaval telah kosong ditinggalkan para penonton. Para “mantan” penonton yang saat itu sebagiannya mungkin sedang sibuk bertarung melawan semur ceker di mangkok-mangkok mie ayam mereka. Yang sebagian lagi barangkali tengah bersendawa paska menenggak oplosan es dawet dan permen Davos.
Sungguh kasihan rasanya dan ingin rasanya menghibur para gadis itu satu per satu. Tapi belum tuntas lamunan saya, tiba-tiba saya dikejutkan kembali dengan sebuah suara dari kejauhan. Dari tempat saya berdiri, tampak jelas sang taruna harus turun dari kursinya untuk kemudian mendapati salah satu ban mobilnya kempes-lembes.
Saya benar-benar kasihan. Sama gadis-gadis itu….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H