Mohon tunggu...
Zaki Iskandar
Zaki Iskandar Mohon Tunggu... Auditor - YNWA!

YNWA!

Selanjutnya

Tutup

Humor

Geografi Bahasa: Jan-jane Sapa Sing Lewih Ngapak?

9 November 2011   06:57 Diperbarui: 8 November 2020   13:44 2839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1351581564593044947

Sebelumnya, saya merasa wajib menjelaskan kepada khalayak ramai mengenai apa itu “Geografi Bahasa”. Geografi Bahasa adalah suatu istilah yang tiba-tiba melintas di pikiran saya, di saat saya membutuhkan sebuah sebutan yang barangkali dapat mengesankan saya sebagai orang yang “keren dan intelek” di mata orang lain. Maknanya kurang lebih sebagai “teori ajaib yang secara sangat spesial mempelajari pergerakan dari persebaran dan perubahan gugusan besar ungkapan verbal yang secara meyakinkan dapat dipahami oleh setiap individu dari kelompok penggunanya, termasuk di dalamnya subbahasa dan intonasi dalam cara penyampaiannya. Sebuah definisi yang asal-asalan tentu saja, karena saya memang bukan seorang ahli linguistik.

BaideweAnda pusing dalam memahami penjelasan saya? Sama, dong! Saya sendiri juga pening. Tapi sudahlah, mari kita lupakan sejenak definisi tidak bermutu itu.

Ndoboli vs. Mbrojoli

Sejujurnya, maksud dan tujuan dari tulisan ini adalah sebagai pelampiasan nafsu primitif yang menggumpal dalam pikiran jahat saya tatkala mendengar sebuah ejekan dari seorang teman asal Tegal. Si Sok Tau ini dengan sangat sembrono mengklaim bahwa bahasa “ngapak-ngapak” yang dipakai oleh orang Banyumas itu lebih kasar, norak, mblekuthuk, wagu, atau apalah sebutannya yang kira-kira bermakna merendahkan. Dia juga mencontohkan beberapa kata --- tapi yang sekarang saya ingat cuma satu kata, yaitu pertanyaan tentang kosakata yang menggambarkan “sebuah peristiwa dalam proses persalinan/kelahiran bayi”. Dia sungguh membanggakan kata ‘ndoboli’ sebagai kosakata yang lebih “indah, lembut, dan elegan” daripada kata ‘mbrojoli’ yang sangat jarang dipakai oleh orang Banyumas.

HAH?! ‘Ndoboli’ van Tegal lebih bagus dari ‘mbrojoli’ van Banyumas? Saya benar-benar sewot saat itu, apalagi kami orang Banyumas terbiasa memakai kata ‘babaran’ ketimbang kata ‘mbrojoli’.

Pernyataan sembrono itu tentu saja langsung saya bantah sekeras-kerasnya. Saya menolak tuduhannya bahwa Banyumasan lebih ngapak daripada Tegalan. Saya memakai argumen-argumen yang saya yakin sama ngawurnya dengan bermacam-macam dalih yang diajukan teman saya itu. Kami berdebat kusir belasan ronde hingga mulut kami berbusa, tanpa menghasilkan pemenang. Begitu membekasnya “luka hati” itu sehingga saya bertekad akan menggali sendiri sebuah teori linguistik baru yang pada saatnya nanti akan saya gunakan secara maksimal untuk membungkamnya. Dan sekarang ini telah tiba waktunya untuk mengumumkan temuan saya itu!

Di Manakah Pusat Bahasa Jawa Modern?

Baiklah para Kompasianer yang budiman, saya menamai teori temuan saya sebagai “Geografi Bahasa” yang definisinya di awal tulisan telah membuat kita semua mual dan sempoyongan. Secara sederhana saya akan membeberkan fakta mengejutkan tentang bagaimana wajarnya level kengapakan sebuah bahasa itu diukur.

Pertama, terimalah kenyataan bahwa Bahasa Jawa Banyumasan (selanjutnya kita sebut Banyumasan saja) adalah bahasa Jawa modern yang lebih tua umurnya dari bahasa Jawa yang dipakai oleh masyarakat Yogyakarta, Solo, Semarang, Pekalongan, Tegal, Pati, dan sebagian besar Jawa Timur. Buktinya apa? Hmm, silahkan Anda googling atau bertanya kepada para profesor bahasa. Jadi, sekarang kita telah mengetahui tempat asal-muasal bahasa Jawa modern itu bermula.

Kedua, Banyumasan kemudian menyebar ke delapan penjuru mata angin. Tapi karena alasan tertentu, terjadi sebuah mutasi bahasa ketika penyebaran itu sampai di teritori Yogyakarta dan sekitarnya serta Priangan dan sekitarnya. Saya menduga keras bahwa penyebabnya adalah komplikasi kronis dari faktor-faktor politis, teologis, mistis, dan sentimen etnis. Akhirnya, pusat bahasa terbagi menjadi tiga, yaitu Banyumas (Banyumasan), Bantul (Bandekan), dan Bandung (Banda, alias BAhasa SuNDA).

Ketiga, terdapat zona benturan di antara ketiga bahasa utama tersebut. Di bagian timur, daerah “elit” tersebut terletak di Wonosobo dan wilayah selatan yang satu bujur dengannya. Jadi Anda tak perlu heran apabila di Wonosobo menjumpai penduduk dalam satu kecamatan berbeda dialeknya. Kemudian di bagian barat, kawasan benturannya ada di Majenang, Cirebon, dan Indramayu.

Keempat, sebuah penyelidikan sangat kredibel yang saya lakukan sendiri menunjukkan bahwa semakin bergerak (dari tiga pusat bahasa tersebut di atas) ke arah utara, barat, timur, dan pesisir pantai maka pelafalan sebuah kata yang berakhiran huruf ‘o’ akan berubah menjadi berakhiran ‘a’ alias semakin ngapak, dan/atau pengucapannya akan juga semakin keras menjurus kasar. Kata ‘opo’ menjadi ‘apa’ dan kata ‘apa’ menjadi ‘apak’. Kalau tidak percaya, silakan selidiki kembali.

Kelima, jadi kesimpulannya ialah semakin ke utara dan semakin mendekati pesisir maka sebuah bahasa akan makin ngapak dan intonasi suara plus pelafalan kata-katanya pun makin keras, meninggi, wagu, dan mblekuthuk. Sehingga kalau sekarang Anda bertanya kepada saya, “Kang Kandar, apa maksudnya orang Tegal itu lebih ngapak dari orang Banyumas?” Maka jawaban saya adalah, “So pasti lah yawww….”

Tinggal Glanggang Colong Playu

Nah, setelah saya bermurah hati mengungkapkannya kepada Anda sekalian, apakah ada di antara Anda yang punya nyali untuk membantah teori luar biasa itu?

Sungguh-sungguh berani?

Baiklah, kalau memang ada, izinkan saya untuk off line dulu barang sebentar. Saya kepengin nonton piring terbang yang tadi pagi mendarat darurat di alun-alun kecamatan….

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun