Maju mundur cantik. Mungkin begitulah ungkapan yang lumayan pas untuk menggambarkan perkembangan status Pangkalan Udara (Lanud) TNI AU di Desa Wirasaba, Purbalingga, yang tengah diikhtiarkan untuk diubah menjadi bandar udara komersial oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan lima pemerintah kabupaten.
Pada akhir tahun 2015, keteguhan sikap jajaran pimpinan Kementerian Perhubungan yang mempertahankan keputusan untuk menolak permohonan perubahan status lanud tersebut, telah membuat sebagian masyarakat Banyumas Raya frustrasi. Sebelumnya, masyarakat Banyumas Raya yang sudah sejak lama membutuhkan kembalinya sarana dan prasarana transportasi yang lebih cepat dari kereta api, merasa gembira dengan wacana menjadikan Lanud Wirasaba sebagai infrastruktur yang bisa melayani penerbangan umum.
Sekedar informasi, pada pertengahan dekade 80-an, bersamaan dengan pelaksanaan pembangunan waduk dan PLTA Panglima Besar Jenderal Sudirman di Mrica, Banjarnegara, pernah ada penerbangan berjadwal jurusan Halim Perdana Kusuma - Lanud Wirasaba, pergi pulang. Bisa menghemat waktu kurang lebih 6 jam jika dibandingkan dengan menggunakan KA Bima yang paling kondang saat itu.
Maka cukup masuk akal jika sebagian masyarakat jadi senewen tatkala Kementerian Perhubungan tidak mengabulkan permintaan terkait komersialisasi Lanud Wirasaba tersebut. Alasan instansi pimpinan Pak Jonan bahwa Wirasaba terlalu dekat lokasinya (50 km lurus) dari Tunggul Wulung di Kabupaten Cilacap, yang terlebih dahulu berstatus sebagai bandara komersial, memang benar adanya. Regulasi menyatakan demikian. Namun di sisi lain, substansi dari kehendak masyarakat Banyumas Raya juga tidak keliru-keliru amat.
Palu pun akhirnya diketok dengan keputusan bahwa Pemprov Jateng lebih memilih Wirasaba sebagai bandar udara komersial di Jateng bagian selatan. Tunggul Wulung yang mempunyai panjang landasan kurang dari 1.500 meter itu akan diusulkan untuk diubah statusnya menjadi bandara khusus VVIP dan bandara pelatihan.
Perang Opini
Tak ayal, “kisruh” Bandara Wirasaba tersebut menjadi isu seksi yang menjadi santapan media lokal dan regional. Silang pendapat pun terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji, seperti diberitakan oleh Suara Merdeka, menilai bahwa Bandara Tunggul Wulung sangat mendukung perkembangan investasi dan perekonomian di Cilacap sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Alasannya, pertama, kegiatan bongkar muat sapi impor yang semula dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang akan dipindahkan ke Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Kedua, pembangunan poros maritim akan dimulai dari Cilacap, mengingat Tanjung Intan adalah satu-satunya pelabuhan alam di Pantai Selatan. Ketiga, merespons program pembangunan infrastruktur Gubernur Jateng untuk mendukung investasi di Cilacap dan Jateng selatan.
Sementara itu Parsiyan, anggota Komisi B DPRD Cilacap, dalam media yang sama mengatakan bahwa sebenarnya Bandara Tunggul Wulung lebih potensial dikembangkan menjadi bandara komersial ketimbang Wirasaba. Katanya, "Pertumbuhan industri di Cilacap juga sangat mendukung pengembangan Bandara Tunggul Wulung. Sebab jika Tunggul Wulung dikembangkan dan pesawat besar bisa mendarat para pelaku bisnis di Cilacap akan lebih mudah mengakses Tunggul Wulung ketimbang Wirasaba. Begitu pula para pelaku bisnis di wilayah Jawa Barat bagian timur.”
Jika membutuhkan kajian, lanjut Parsiyan, pusat diminta menurunkan ahli. Untuk memberi saran mana yang lebih layak: Cilacap atau Purbalingga? Ia meyakini bahwa pengembangan Tunggul Wulung akan memberi multiplier effect luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi Jateng bagian selatan. Juga Tunggul Wulung diklaim jauh lebih potensial. “Selama ini bandara ini juga sudah menjadi bandara kebanggaan seluruh masyarakat," ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Parsiyan meminta Kementerian Perhubungan, Pemprov Jateng, dan Pemkab Cilacap duduk bersama untuk membicarakan masalah tersebut. "Beri kesempatan Cilacap memaparkan potensi pengembangan Tunggul Wulung dan peluang-peluang ekonominya," katanya.