Mohon tunggu...
Maulana Setiadi
Maulana Setiadi Mohon Tunggu... -

Pecinta cerita fiksi dan semua lagu Michael Jackson.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penantian Akhir Tahun

9 Januari 2014   02:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:00 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akhirnya aku berhasil menjejakkan kaki di pelantaran kafe ini, setelah melakukan perjalanan yang melelahkan. Aku ingin ke dalam untuk memesan kopi, tapi percuma. Kafe ini sudah lama tutup. Padahal dulu selalu ramai karena kopinya yang nikmat. Kabarnya, kafe ini tutup karena pemiliknya tidak sanggup melunasi hutang ke Bank. Namun ada kabar lain yang lebih mengejutkan sebelum kafe ini tutup, tepatnya pada malam tahun baru. Di mana semua orang tengah bersorak gembira, memeriahkan pawai terompet yang menggema, merasakan selebrasinya. Seorang wanita cantik dengan blazer hitam malah duduk sendiri di dalam kafe ini. Ia rela berdandan demi pertemuan ini. Rela menunggu pacarnya berjam-jam, ditemani sebuah terompet yang digeletakkan di mejanya. Pengunjung di sekitarnya sudah menebak, ia hendak merayakan tahun barunya dengan pacarnya.

Wanita itu masih saja menunggu pacarnya. Berkali-kali ia melirik arloji di pergelangan kirinya. Mengetuk-ngetuk meja pelan, mencoba meredamkan rasa cemasnya. Lantas merogoh tas dan meraih smartphone-nya, menulis barisan kalimat di layar smartphone-nya. Ia mengaduk-aduk kopi hitam dalam cangkir, menambahkan gula, menyeruput sedikit, lantas kembali menulis di layar smartphone. Barangkali pertemuan singkat masih bisa dilakukan, daripada tidak bertemu sama sekali, pikirnya.

“Satu cangkir kopi lagi ya, Mas. Tapi kali ini lebih kental dan pekat!” Ia memesan secangkir kopi lagi. Pelayan kafe mangangguk, menuruti permintaannya sambil tersenyum sopan.

Seiring jarum jam berdetak terus menerus berjalan, pacarnya tidak datang juga. Ia menatap kembali layar smartphone-nya. Rasa kesal mencuri keluar dari wajahnya, setelah mendapati kabar bahwa kekasihnya menginginkan putus saat itu juga. Napas beratnya seperti menyesatkan di ruang hampa terdalam di palung hatinya. Kadar amarahnya saat itu beriringan dengan tangisannya. Pandangannya kosong. Ia membanting cangkir kopinya yang baru berkurang setengah ke lantai. Pyar! Spontan semua pelayan dan pengunjung kafe menatapnya kesal.

Sampai pada pukul dua belas malam, penyakit jantungnya beriringan dengan pergantian tahun baru. Wajah-wajah lain di dalam kafe memamerkan senyum mengembang. Beberapa wajah menatap ke jendela, beberapa yang lain bergegas keluar dari kafe. Menyaksikan percikan kembang api yang menjulang dan meledak di udara. Namun wanita itu hanya duduk diam, terkantuk-kantuk, merasakan amarah yang terlanjur menggunung, lalu mati di kafe ini.

Sejak tadi aku sibuk mencari suara berisik yang ditiup oleh entah siapa. Kucari ke sekitar, tidak ada orang lain selain aku. Aku jadi sangat penasaran. Kutajamkan telinga, kuperhatikan suara itu berada di dalam kafe ini. Aku membatin, jangan-jangan wanita yang mati itu. Kuintip ke dinding kaca kafe ini. Aku terkesiap, ketika menyaksikan diriku duduk sendiri di dalam, mengenakan blazer hitam sambil meniup terompet yang berisik itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun