Indonesia merupakan negara kepulauan. Sebagai sebuah daerah yang luas dan terpisahkan menjadi banyak pulau, setiap daerah di Indonesia memiliki keberagaman budayanya. Tak hanya itu, keberagaman budaya yang ada di Indonesia juga merupakan hasil dari akulturasi budaya dengan benerapa bangsa pendatang. Salah satu budaya yang paling besar pengaruhnya terhadap budaya di Indonesia adalah budaya Tionghoa. Kedatangan etnis Tionghoa, sudah terjadi lama sebelum Indonesia merdeka. Kedatangan mereka terbagi menjadi 3 fase Dimana fase pertama terjadi di abad ke-14 dengan tujuan perdagangan, fase kedua di abad ke-17 dampak dari konflik pergantian Dinasti Ming ke Dinasti Qing, dan awal abad ke-20 akibat revolusi nasionalis Cina dan kebutuhan tenaga kerja oleh Hindia Belanda (Suryaningtyas, 2018). Â Hingga saat ini masih banyak orang keturunan Tionghoa yang memilih menetap di Indonesia. Menurut goodstats.id, jumlah diaspora China adalah yang tertinggi di ASEAN dengan jumlah lebih dari 10 juta jiwa atau sebesar 3,8% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia. Dengan jumlah yang begitu besarnya dan kedatangan mereka yang sudah sangat lama terjadi, tak mengherankan apabila budaya Tionghoa banyak memengaruhi budaya di Indonesia.
Etnis Tionghoa yang ada di Indonesia tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemunculan Klenteng serta kawasan pecinan yang sangat marak. Di Indonesia persebaran etnis Tionghoa mayoritas terjadi di Pulau Jawa. Salah satu daerah di Jawa yang menjadi destinasi migrasi etnis Tionghoa adalah Semarang. Semarang adalah ibukota dari Jawa Tengah. Menurut Kementrian Agama Republik Indonesia, Provinsi Jawa Tengah menempati urutan ke-5 daerah dengan jumlah klenteng terbanyak di seluruh Indonesia. Alasan Semarang dijadikan destinasi migrasi Masyarakat Tionghoa adalah pelabuhannya yang memang terkenal sebagai pusat perdagangan. Selain dari itu, Masyarakat Tionghoa juga berbondong-bondong dating ke Semarang karena tata letak kotanya. Orang Tionghoa sangat mempercayai adanya feng shui. Dilansir melalui (merdeka.com, 2016)Kota Semarang dianggap memiliki feng shui yang bagus karena tata letak kotanya yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu Semarang Atas dan Semarang Bawah.
Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, sehingga eksistensi keduanya tak dapat terpisahkan. Â Selain melihat makanan sebagai kebutuhan biologis dari manusia, makanan juga dapat dilihat sebagai representasi simbolik dari masyarakat suatu daerah atau pada zaman tertentu. Seiring dengan perkembangan zaman, makananpun ikut berkembang bersamaan dengan manusia. Hal ini dikarenakan perkembangan trend makanan dapat terjadi karena pengaruh oleh dinamika yang terjadi di masyarakat. Maka dari itu, makanan yang berkembang hingga saat ini dapat dikategorikan sebagai produk dari kebudayaan yang telah lama berkembang di masyarakat (Petrus, 2022).
Setiap daerah di Indonesia memiliki makanan tradisional yang menjadi ciri khasnya. Lumpia adalah makanan ikon asal kota Semarang yang umumnya berisi rebung, telur, daging ayam atau udang. Sebagai makanan yang menjadi symbol Kota Semarang, lumpia memiliki perjalanan historis Panjang dibaliknya. Makanan ini pertama kali dibawa oleh seorang pendatang dari China Bernama Tjoa Thay Yoe yang pertama kali menginjakkan kakinya di Semarang pada akhir abad ke-19. Ia mencoba peruntungannya dengan menjual makanan berbahan dasar babi dan rebung di Pasar Johar Semarang. Disinilah ia pertama kali menjumpai Wasih, seorang pedagang makanan dengan bahan dasar udang dan kentang. Karena kemiripan jenis makanan yang mereka jajakan, mereka mulai sering berbicara dan Dimana akhirnya mereka menikah. Setelah pernikahan mereka, kedua sejoli itu mulai mengembangkan resep Bersama yang lebih sesuai dengan cita rasa orang-orang Jawa. Makanan ini adalah lumpia yang dikenal Masyarakat luas hingga saat ini (Aida & Pratiwi, 2023).
Tak hanya menjadi symbol akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa, Lumpia ternyata juga menjadi symbol resistensi dan eksistensi budaya Tionghoa. Sebagai warga Indonesia non-pribumi tentu awal kedatangannya mengalami banyak diskriminasi dari Masyarakat Indonesia. Bahkan tak sedikit yang masih mengalami permasalahan tersebut hingga sekarang. Pada awal masa pemerintahan Soeharto di tahun 1966 adalah masa sulit bagi etnis Tionghoa. Banyaknya peraturan-peraturan diskriminatif terhadap mereka membuat ruang gerak mereka menjadi terbatasi. Meskipun terbelenggu oleh peraturan diskriminatif, etnis Tionghoa pada masa itu diberikan kesempatan untuk melakukan aktivitas ekonomi (Aryani, 2022). Sehingga dibalik musibah yang dialami oleh etnis Tionghoa mereka masih mendapat sececercah harapan.
Penggunaan makanan sebagai alat politik sudah sejak lama dilakukan. Hal ini dikarenakan makanan dapat menjadi symbol representasi akan identitas daerah asalnya dan dinamika didalamnya. Dapat kita lihat bahwa kehadiran lumpia di Semarang memiliki banyak aspek politis dibaliknya. Disini lumpia dapat dilihat sebagai representasi simbolik dari para warga etnis Tionghoa. Menurut Pitkindalam bukunya yang berjudul "The Concept of Representation" (1967), representasi simbolik dapat dimaknai sebagai symbol-simbol yang mewakili identitas bagi orang-orang yang diwakili. Lumpia seolah menjadi saksi bisu atas dinamika yang terjadi pada Masyarakat Tionghoa khususnya di Semarang. Lumpia menjadi salah satu komoditas yang diperdagangkan oleh etnis Tionghoa di Semarang kala itu. Meskipun berulang kali mendapat diskiriminasi dari pemerintah, lumpia sebagai produk budaya tidak berhenti berkembang dan justru semakin menggaet popularitas. Hal ini seakan menjadi symbol akan eksistensi dan relevansi di Tengah berbagai ketidakpastian politik Masyarakat Tionghoa khususnya di Semarang. Lumpia di Semarang juga menjadi pusat interaksi sosial antara Masyarakat etnis Tionghoa dan Masyarakat local Semarang melalui perdagangangan. Makanan ini menjadi penjembatan dalam memeperkuat solidaritas antara Masyarakat di Semarang. Selain itu, lumpia juga kerap digunakan dalam perayaan-perayaan adat Masyarakat Tionghoa di Semarang. Penggunaan lumpia pada ritual-ritual Masyarakat Tionghoa menunjukkan fungsinya sebagai representasi simbolik yang seringkali bersifat ritualistic. Memiliki makna persatuan, lumpia kerap menjadi makanan khas imlek karena sebagai symbol pengharapan agar manusia Bersatu tanpa memandang perbedaan yang ada. Isiannya yang beragam dan digulung menjadi satu menjadi symbol keberagaman dan persatuan. Kehadirannya dalam kehidupan Masyarakat khusunya pada saat perayaan dapat menimbulkan perasaan yang Bahagia. Dimana hal ini dijelaskan oleh Pitkin dalam bukunya yang berbunyi "it's power to evoke feelings or attitude". Perasaan yang hadir di Masyarakat berkat dari lumpia menjadi legitimasi peran lumpia sebagai representasi simbolik. Lumpia juga merupakan bentuk pengekspresiian diri Masyarakat Tionghoa. Seiring dengan perkembangan lumpia hal ini seolah menjadi symbol komitmen mereka untuk terus melestarikan budaya dan tradisi mereka (Susanti, 2015). Salah satu kedai lumpia di Semarang yang paling popular dan masih eksis hingga saat ini adalah lumpia Gang Lombok, lumpia Mbak Lien, dan lumpia jalan Mataram yang Dimana ketiga kedai tersebut masih merupakan keturunan dari pencipta pertama lumpia (Ismi, 2023)
Kehadirannya yang sudah sangat lama dalam kehidupan Masyarakat di Semarang membuat lumpia mampu untuk menimbulkan sentiment tersendiri. Ungkapan "belum ke Semarang kalau belum memakan lumpia", kerap terucap dari orang-orang.namun siapa sangka, Â makanan yang menjadi incaran turis maupun warga local Semarang ini ternyata memiliki banyak symbol di dalamnya. Mulai dari symbol persatuan hingga perjuangan.
Â
Â
Â
Â