Mohon tunggu...
Kanaya Wayashila Umariyadi
Kanaya Wayashila Umariyadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi/Universitas Jember

Beragumentasi dan menyalurkan pada tulisan merupakan aktivitas menarik bagi saya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darurat Demokrasi: Pemilu sebagai Ajang Bisnis dan Popularitas

27 Maret 2024   09:00 Diperbarui: 12 Juni 2024   12:31 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia menyambut 2024 dengan Pesta Demokrasi. Karena di tahun ini Indonesia, akan melakukan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu turut serta Pemilu DPR dan DPD yang akan menjadi wakil rakyat selama 5 tahun kedepan. Kontroversi Presiden antara paslon 01, paslon 02, dan paslon 03 terlalu banyak disoroti. Sehingga, masyarakat kurang memberikan perhatiannya kepada pemilihan DPR dan DPD. Padahal tanpa disadari pemilu 2024, dijadikan panggung hanya untuk mencari ketenaran dan "laba". Tidak sedikit, dari masyarakat yang memberanikan diri untuk menjadi calon legislatif, termasuk para selebritis tanah air. Para selebritas berlomba-lomba dalam mencalonkan diri sebagai Calon DPR, maupun DPD. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengambil suara rakyat, supaya terpilih, dan mendapatkan jatah kursi di gedung DPR. Namun sangat disayangkan, jika tujuan menjadi wakil rakyat, bukanlah untuk menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah, akan tetapi hanya untuk kepentingan sendiri ataupun golongan.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, telah mengatur jelas pada pasal 20, ayat (1) dan (2), serta Pasal 22D, bahwa fungsi utama dari DPR maupun DPD, yakni membentuk Rancangan Undang-Undang. Namun jika dilihat secara praksis, tidak banyak wakil rakyat yang mampu melaksanakan fungsi utama tersebut, bahkan seringkali menemukan DPR dan DPD yang tidak menguasai ilmu ketatanegaraan, bahkan tidak paham arti legislasi. Staf ahli yang seharusnya sebagai alat kelengkapan setiap anggota DPR, justru menjadi alat utama, yang mampu mengambil peran dan fungsi utama sebagai DPR dan DPD, untuk membentuk suatu rancangan Undang-Undang.

Sehingga perlu diperhatikan untuk kedepannya, bahwa pemilihan calon legislasi perlu pemilihan dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Supaya fungsi-fungsi DPR dan DPD dapat berjalan secara maksimal, dan mampu menjadi "wakil" bagi rakyat, yang berpihak pada rakyat.

Pada kasusnya, DPR dan DPD yang seharusnya sebagai 'wakil rakyat' justru lebih sering bertentangan dengan rakyat. Tidak adanya keselarasan antara anggota legislatif dan Rakyat merupakan keadaan yang memprihatinkan. Pada era ini, DPR dan DPD sebagai wakil rakyat dinilai memiliki status sosial lebih tinggi, karena DPR dan DPD dinilai memiliki kewenangan. Tidak jarang kewenangan tersebut, digunakan untuk para DPR maupun DPD bertindak sewenang-wenang. Padahal jika kita lihat pada Asas Tiada Wewenang tanpa Pertanggungjawaban, asas tersebut menerangkan bahwa setiap wewenang yang dimiliki oleh lembaga pemerintahan, pada akhirnya perlu adanya pertanggung jawaban. Kewenangan yang dimiliki DPR dan DPD  pada akhirnya perlu adanya pertanggung jawaban kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Sebenarnya tidak mudah menjadi anggota legislatif, selain memiliki tanggung jawab yang besar, anggota legislatif juga profesi yang beresiko besar, terutama dalam mengambil keputusan. Namun, jika kita lihat, sebagian masyarakat Indonesia, justru berlomba-lomba untuk menjadi anggota legislatif, meski pada dasarnya tidak memiliki pemahaman akan Tata negara. Jika kita lihat, ada beberapa faktor yang membuat masyarakat tertarik untuk menjadi anggota legislatif. Faktor pertama, anggota DPR dinilai memiliki status sosial lebih tinggi, sehingga anggota legislatif akan lebih diprioritaskan, dan disegani dalam masyarakat. Faktor kedua, anggota legislatif memiliki penghasilan yang cukup tinggi, sehingga dalam hal ini, ajang untuk menjadi anggota legislatif, akan dinilai hanya mencari "laba atau keuntungan" bagi diri sendiri. Faktor ketiga, yakni sebagai alat untuk mendapatkan popularitas, dalam praksisnya anggota DPR dan DPD akan lebih dikenal, serta akan mendapatkan beberapa privilege oleh masyarakat. Faktor Keempat yakni calon legislatif, benar-benar ingin memperbaiki tatanan negara Indonesia, memprioritaskan masyarakat secara adil dan merata, serta benar-benar tulus mengabdi untuk negara Indonesia. Namun, hal semacam itu jarang ditemui dalam pesta demokrasi.

Dalam pelaksanaanya, kita tidak bisa hanya menghakimi para calon legislatif. Kita perlu melihat juga, masyarakat Indonesia sebagai peserta pemilu yang tentu memiliki peran dan pengaruh besar. Telah dibahas sebelumnya, bahwa rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga apapun kehendak rakyat, selama tidak bertentangan dengan UUD 1945, perlu menjadi prioritas bagi lembaga negara maupun pemerintah. Menjelang pesta demokrasi, calon anggota legislatif berlomba-lomba untuk menarik perhatian masyarakat, salah satunya dengan money politic. Seharusnya, sebagai masyarakat yang baik, untuk memilih calon legislatif yang dapat bertanggung jawab akan kewenangannya, kita perlu melihat setiap visi dan misi yang ditawarkan, jejak digital calon legislatif, serta pendidikan yang cukup memadai untuk bisa menjadi calon anggota DPR dan DPD yang ahli dalam urusan negara. Namun, dalam prakteknya, masyarakat justru menjadi penerima praktik money politic, yang hal tersebut merupakan indikasi kecil dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Padahal pada Pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 yakni larangan money politic. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang “menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye pemilu”. Pelaku maupun penerima politik uang bisa dijerat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017, dengan sanksi pidana berupa kurungan penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta. Regulasi yang mengatur hal tersebut sudah jelas, bahwa praktik money politic, merupakan hal yang dilarang, dan ada sanksi jika dilakukan. Tetapi, karena praktik money politic yang terlalu sering, sehingga hal tersebut dinilai lumrah dan bahkan perlu, jika menjelang pemilu. 

Maka, jika para calon legislatif saja sudah berani melakukan KKN, apalagi jika terpilih menjadi anggota DPR dan DPD. Seharusnya sebagai masyarakat yang menerima money politic, tidak perlu protes atau mengujarkan kebencian kepada anggota DPR dan DPD yang terjerat kasus korupsi, karena semenjak awal, calon anggota legislatif, sudah melakukan indikasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebenarnya sebagai rakyat, kita sudah bisa menilai kinerja anggota DPR dan DPD, bahkan sebelum menjadi anggota DPR dan DPD. Artinya, jika dari awal pencalonan, anggota DPR dan DPD, sudah melakukan money politic, sudah terlihat jelas, para anggota tersebut, jika terpilih akan menjadi Anggota legislatif yang kurang bertanggung jawab akan kewenangannya. 

Maka dari itu, sebagai rakyat kita perlu merenung, akan kesalahan-kesalahan yang dinilai lumrah, terutama perihal money politic. Jika kita membutuhkan pemerintahan yang jujur, kita sebagai rakyat sekaligus peserta pemilu, perlu jujur terhadap pilihan kita, demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun