Mohon tunggu...
Ungky
Ungky Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang wartawan adalah seseorang yang bertugas untuk mengumpulkan, menyunting, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui berbagai media seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan platform online.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Proses Pilkada Dinilai Terlalu Ribet, Efisiensi Jadi Sorotan

5 Januari 2025   13:26 Diperbarui: 5 Januari 2025   13:26 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Djonggi M Simorangkir, SH, MH saat di Singapura merayakan Tahun baru 2025. Sumber: dokumen pribadi. 

Proses pemilihan kepala daerah, mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur, sering kali diwarnai sengketa hasil yang berujung pada keterlambatan pelantikan. Kondisi ini dinilai menghambat kepala daerah dalam menjalankan tugas pemerintahan secara optimal.

"Sengketa pilkada memang kerap memakan waktu yang tidak sedikit, dan ini berdampak pada pelayanan publik. Negara perlu mempertimbangkan mekanisme yang lebih sederhana namun tetap menjaga prinsip demokrasi," ujar Dr. Djonggi M Simorangkir, SH, MH.

Beberapa pihak mempertanyakan urgensi membuka seleksi calon kepala daerah dari luar kalangan profesional pemerintahan. Menurut mereka, keberadaan lulusan perguruan tinggi khusus seperti Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) seharusnya dimaksimalkan, mengingat mereka sudah memiliki keahlian di bidang tata kelola pemerintahan.

"Lulusan IPDN memang telah dibekali ilmu pemerintahan secara menyeluruh, sehingga mereka memiliki keunggulan teknis. Namun, demokrasi kita menghendaki adanya partisipasi luas dari berbagai kalangan, bukan hanya dari kelompok tertentu," jelas Dr. Djonggi.

Tak hanya itu, biaya besar yang dialokasikan untuk pelaksanaan pilkada juga menjadi perhatian. Dana yang mencapai puluhan triliun rupiah dianggap terlalu besar, terutama jika hasilnya tidak sesuai harapan masyarakat. Kritik ini mendorong wacana reformasi sistem pilkada agar lebih efisien.

"Anggaran yang besar untuk pilkada memang harus dievaluasi. Tetapi, solusi untuk memangkas biaya tidak boleh mengorbankan hak rakyat dalam memilih pemimpinnya. Teknologi bisa menjadi alat untuk menekan biaya tanpa mengurangi esensi demokrasi," kata Dr. Djonggi.

Polemik terkait latar belakang kepala daerah juga menjadi sorotan. Banyak yang menilai beberapa kepala daerah terpilih tidak memiliki kemampuan teknis yang memadai, sehingga membutuhkan waktu adaptasi yang lama.

"Memang ada permasalahan terkait kompetensi kepala daerah, namun solusinya bukan membatasi seleksi hanya untuk lulusan tertentu. Perlu ada penguatan kapasitas melalui pendidikan politik dan pelatihan yang berkesinambungan," tambah Dr. Djonggi.

Ia menegaskan bahwa tantangan dalam sistem pilkada harus diselesaikan dengan mempertahankan keseimbangan antara efisiensi, kompetensi, dan prinsip demokrasi. Menurutnya, reformasi sistem pilkada yang berbasis teknologi dan regulasi yang lebih sederhana dapat menjadi jalan keluar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun