Kerikil itu tidaklah melukai, namun keberanian mereka membuat orang lain menoleh. Peduli. Menggugah rasa kemanusiaan yang tertidur.
Meskipun kita bersembunyi dalam angan, bahwa tak mungkin secara bersamaan berada di dua sisi negeri yang bertikai. Kita jadi hanya bisa menduga. Lalu mungkin jadi banyak menyumbang opini, yang akhirnya justru kian menambah besar kobaran api.
Dan kita tahu, bumi tak akan dengan sendirinya bertambah luas setiap harinya. Tidak akan menuruti siklus penghuninya, yang saat bertambah banyak, tanahnya juga akan bertambah lebar sejengkal demi sejengkal. Lagipula kita pun tidak hidup di dunia paralel. Maka konflik kepemilikan tempat mungkin akan tetap selalu jadi sejarah sekaligus masa depan.
***
Kita kadang berpikir dalam bias. Bahwa rakyat adalah sepenuhnya cerminan pemerintahannya. Padahal bukan sebuah negara jika bukan lingkaran yang majemuk. Banyak komunitas yang membentuk lingkungan heterogen.
Kita ingat, sungguh menyakitkan saat para teroris Islam garis keras meledakkan bom-bom di keramaian Eropa. Lalu masyarakat yang terancam itu banyak yang akan menoleh pada kita. Menyalahkan kita seolah kita adalah bagian dari kelompok radikal itu.
Sepenuhnya kita membela diri, tapi mereka bergeming. Karena bom selanjutnya menyusul meledak. Dan masyarakat mereka makin memandang sebelah mata, karena seolah kita yang ada disini, yang terpisah laut dan benua, tak mampu menghentikan teror-teror itu.
Lalu kita makin sedih, karena beberapa dari mereka akhirnya tidak lagi hanya benci pada kita, namun juga pada apa yang sepenuhnya kita yakini.
Apakah kita salah? Apakah kita salah karena tak mampu mengubah ideologi saudara muslim kita yang berhaluan radikal? Apakah kita salah karena diam saja?
Mungkin demikian juga dalam konteks kemanusiaan. Orang Yahudi yang tinggal di negara lain mungkin merasakan hal yang sama. Mereka yang moderat, namun ikut disalahkan karena aksi saudara mereka yang berhaluan sayap kanan. Di negeri orang mereka dirundung, lalu mereka terpaksa "pulang" ke "tanah yang dijanjikan".
Konflik antara pemerintah dengan sebuah kelompok jadi merembet menimpa masyarakatnya. Padahal tidak selamanya sebuah pemerintahan adalah simbol utuh seluruh rakyatnya. Presiden dan perdana menteri bukan suara seluruh penduduk.