Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi 2020

31 Desember 2020   05:07 Diperbarui: 31 Desember 2020   05:16 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa waktu kian terkikis. Kalender kita baru. Tapi hal apa yang bisa kita sadari? Apakah tentang perjalanan yang sudah makin jauh? Yah, meskipun kita selalu mendamba kehidupan yang produktif, atau setidaknya berguna untuk orang lain, minimal untuk diri sendiri, tapi kita tidak hidup di negeri utopia.

Tahun 2020 mungkin bukan tahun yang memenuhi ekspektasi banyak orang. Yah, banyak cerita di sepanjang tahun, yang kiranya kebanyakan secara kasat mata adalah kisah sedih. Saya tak bicara tentang kehidupan pribadi, namun dalam skala luas, berita tentang ujian bertubi-tubi adalah sebuah catatan sejarah.

Namun kita tetap harus melewati 2020. Jika manusia ingin melihat 2021 atau 2022. Kalender tak mungkin meloncati sebuah tahun yang penuh duka cita, hanya karena egoisme tentang kebahagiaan sebagian orang. Pun dahulu ketika masa-masa nenek moyang dilanda banyak wabah dan musibah, mereka tetap mesti melalui tahun-tahun itu.

Dimulai dengan bencana global "warisan" tahun lalu, yang tahun ini kian menjangkau ujung-ujung dunia. Virus memang tak mampu melakukan ekspansi, namun mereka mengikuti ekspedisi manusia. Kemana orang berkelana.

Tahun ini kita juga banyak kehilangan panutan. Tidak lagi bisa membersamai dalam kehidupan nyata ini. Masjidil haram ditutup, dan kegiatan keagamaan banyak yang ditunda. Ratusan ribu orang kehilangan banyak pendapatan. Anak-anak tak mendapatkan pendidikan layak, karena sekolah tatap muka diliburkan. Didi Kempot tak akan pernah bernyanyi lagi.

Sungguh saya dulu selalu menyambut gembira liburan. Tapi saya tak pernah bisa membayangkan rasanya, jika tanggal merah berturut-turut ini, andaikan terjadi di tahun saya masih sekolah dulu.

Tapi kita tetap harus melewati tahun 2020. Koran dan majalah mungkin adalah buku sejarah yang lengkap. Para wartawan akan mencatat hingga jadi reportase dan sajian panjang berhalaman-halaman, untuk sebuah peristiwa penting. Sementara beberapa generasi di masa depan sekedar mengingat semua dokumentasi panjang itu, dalam sebuah kaleidoskop singkat.

Tapi seringkali orang hanya dipertemukan dengan apa yang mereka cari, apa yang selalu mereka pikirkan dalam hati. Kita bisa mendengar lebih banyak derai air mata tahun ini, bila pesimisme telah menguasai sanubari.

Tapi mungkin akan jauh lebih banyak harapan dan hal baik yang bisa menjadi kenangan indah tahun ini, jika kita pandai memilah. Bahwa tak ada yang pernah sia-sia diciptakan, bahkan kotoran yang kita geli melihatnya bisa menjadi pupuk, dan emas permata yang menyilaukan dapat menenggelamkan seseorang dalam nestapa tiada henti.

Hari hujan, petir bergemuruh, matahari terhalang sinarnya oleh mendung yang menyanyikan lagu suram di pagi hari. Kita tak bisa keluar rumah, beberapa merutuk kesal karena jadi gagal menikmati jalan-jalan pagi. Tapi yang lain tetap ingat, bahwa ini adalah pagi yang sangat indah. Hujan adalah berkah. Pepohonan tersenyum, bunga-bunga bersenandung. Lalu kita akan memiliki tanah yang subur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun