Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

20 Desember 2020   06:26 Diperbarui: 20 Desember 2020   07:11 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat sampul bukunya sekilas, saya seolah merasakan lagi-lagi menemukan mutiara. Sepertinya ini buku yang bagus, itu kesan pertama. Sampai saya melihat ternyata penulisnya memang benar adalah al-Habib Ali Al-Jufri. Kualitasnya tak lagi diragukan.

Buku dengan tema semacam ini mengingatkan saya pada karya-karya Prof. Habib Quraish Shihab. Serial berjudul Islam yang Saya Pahami dan Islam yang Saya Anut. Dulu pernah baca sekilas, walaupun meminjam. Dengan pembawaan isi yang ringan dan mudah diterima siapa saja.

dok. pribadi
dok. pribadi
Namun sudah lama sekali sejak terakhir kali membeli buku fisik. Kangen juga seperti dulu, bisa mengoleksi satu atau dua judul baru setiap bulannya. Sekarang malah seperti terjebak dalam lubang hitam di semesta buku digital.

Kemanusiaan Sebelum Keberagaman, dari judulnya, entahlah, mungkin beberapa dari kita merasa tersindir, juga banyak orang di zaman sekarang. Karena lebih menampilkan religusitas daripada sikap kemanusiaan.

Menonjolkan kalau dalam diri telah melekat erat sifat cendekia, dibuktikan dengan banyaknya dalil agama yang telah dihafal. Lalu ditambah juga dari penampilan yang terkadang mencolok, nampak berbeda, yah sangat islami.

Padahal kiranya yang dilihat orang lain dalam interaksi sosial adalah sikap kita sehari-hari. Beberapa orang di hamparan kecil pedesaan, dan gedung-gedung tinggi perkotaan, juga orang-orang asing yang kita temui di jalan, tak akan menanyakan berapa ayat Alquran yang telah dihafalkan, tapi di awal perjumpaan, orang pada umumnya akan lebih menghargai bantuan kecil yang kita berikan kepada mereka, atau sifat ramah yang kita tampilkan.

Maka yang sebaiknya ditekankan adalah sejauh mana religiusitas itu bisa melebur menjadi karakter yang kuat, alih-alih cuma sekedar mengambang sebagai sebuah simbol yang cukup sekedar dibangga-banggakan. Dalam segenap kesederhanaan hidup, orang tak butuh pengakuan.

Mungkin kita bisa meretas anggapan, kalau sekarang yang terbaik adalah membentuk pribadi. Memperkaya diri dengan wawasan tentunya tidak pernah jadi hal yang buruk, tapi hal itu mungkin akan menguap begitu saja tatkala seseorang gagal untuk menyeimbangkan luasnya pengetahuan yang dimiliki, dengan sikap terpuji yang dengan itu manusia akan dihargai dalam sebuah komunitas.

Kita perlu ingat, bahwa meskipun banyak hadis tentang pentingnya amal ibadah, juga diimbangi dengan banyaknya hadis yang menekankan tentang sifat kemasyarakatan dan kemanusiaan. Pentingnya menghargai tamu, pentingnya menyenangkan hati tetangga kita sendiri, pentingnya interaksi sosial dan membantu sesama. Bahkan disabdakan kalau bakti kepada orang tua, pahalanya seperti berhaji, umrah, juga berjihad.

Sebuah kisah yang seingat saya dituturkan oleh imam Al-Ghazali bisa kita ambil hikmahnya. Bahwa seorang yang ahli ibadah, tak pernah tertinggal salat tahajud, namun akhirnya malaikat mengabarkan kalau itu tidak diterima, na'udzubillah. Sebab dia hanya fokus kepada sajadah, hingga mengabaikan tetangganya yang kelaparan dan butuh bantuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun