Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Nenek Moyang tentang Banyak Anak Banyak Rezeki

28 November 2020   05:42 Diperbarui: 28 November 2020   05:47 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: accessj.com)


"Banyak anak banyak rezeki", mungkin ada yang mengartikannya sebagai sebuah pepatah, mungkin ada yang memaknainya dengan nasihat, mungkin juga ada yang memahaminya sebagai sebagai sebuah penyemangat. Namun hari ini kalimat itu kiranya menjadi semacam peribahasa yang mulai dilupakan maksudnya bagi banyak orang.

Padahal Tuhan telah menjamin kehidupan tiap hamba-Nya. Pun Alquran mengecam budaya bangsa Arab pra Islam yang mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka. Sebab setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Semakin banyak anak, akhirnya akan semakin banyak pula rezeki yang terkumpul dan lewat dalam sebuah keluarga besar.

Namun ada yang bilang, kalimat itu sudah tak berlaku lagi. Tidak relevan untuk zaman ini, dimana kebutuhan hidup kian berlipat ganda, dan orang akhirnya menganggap semakin banyak anak berarti semakin besar tanggung jawab.

Diam-diam mungkin banyak orang setuju pada pemahaman itu, mereka mengiyakannya dengan mengikuti program keluarga berencana. Mungkin ada orang yang dalam hati telanjur menganggap kalimat itu sudah jadi mitos. Banyak orang lebih percaya logika, kalau menghidupi dua anak saja kadang sampai harus hutang, bagaimana jadinya bila punya tujuh?

Iya, saya masih ingat kata ibu saya. Setiap keluarga pada zaman dahulu rata-rata adalah keluarga besar. Satu kakak dengan delapan orang adik adalah hal biasa. Dulu nenek moyang kita menikah di usia sangat muda, dan saat masih belia, kadang sudah harus menghidupi dua balita.

Tapi nenek moyang kita selalu yakin, untuk tidak pernah merasa takut atau cemas, sebab setiap anak memiliki rezekinya masing-masing. Orang tua hanya sekedar perantara untuk lewat.

Pun gaya hidup zaman dulu tidak pernah berlebihan. Para orang tua tidak menerapkan standar yang tinggi untuk anak-anak mereka. Kenyataannya, dulu kakek saya punya sawah yang luas sekali. Tersebar di banyak lokasi. Mungkin butuh seharian untuk mengunjungi semuanya.

Tapi kata orang tua saya, dulu kakek nenek sekeluarga tetap hidup sederhana. Makan pun seadanya, hanya nasi putih atau kadang nasi jagung dengan menu sayur seadanya, atau ikan asin. Pun lidah juga terbiasa kalau harus sarapan cukup dengan lauk sambal.

Menu ayam adalah makanan mewah, bila sesekali ada telur kadang sebutirnya untuk disantap bersama-sama. Baju bagus hanya satu atau dua, tidur berselimut sarung, dan benda-benda seperti batu kerikil bisa menjadi permainan yang menyenangkan.

Dan tidak ada yang menuntut. Dengan kesederhanaan itu saja sudah menjadi gambaran keluarga bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun