Orang yang suka minum kopi dan merokok dalam-dalam di kedai-kedai pingggir jalan itu, kadang senang membat opini-opini tajam. Mereka dengan mudah menyudutkan negara.Â
Menganggap negara hanya dihuni para pengikis harta rakyat yang gemar berfoya-foya. Menuduh dengan semena-mena, kalau uang bensin telah tersimpan bertumpuk-tumpuk. Satu gedung penuh, hingga cukup untuk membuat gedung yang lainnya.
Namun kita adalah ironi, yang percaya pada gosip-gosip dan kata-kata manis. Tak kunjung mengerti, betapa sulitnya menjalankan sebuah negara.Â
Orang mudah saja keliling dunia, pulang pergi ke berbagai negri. Mengunjungi patung Liberty hari selasa, lalu melihat reruntuhan tembok Berlin tepat lusanya. Mendatangi Menara Eifel hari senin, lalu tiba-tiba rabu sudah ada di Inggris, berswafoto dengan latar belakang Big Ben. Tapi ujung segalanya adalah sudut mati, dan rasa rindu. Orang akan sadar kalau ia hanya punya Indonesia.
Orang mudah menilai buruk apa yang dikatakan pemerintah. Seolah semuanya adalah tinta hitam. Padahal susah bukan main untuk membuat dewan perwakilan semuanya setuju. Penuh intrik dan adu kuat (kah?). Mengungkit-ungkit setangkai jarum dalam tumpukan kain yang sebenarnya tak pernah ada.
Andai saja banyak yang tahu bagaimana gigih Indonesia membangun jalan raya. Dengan biaya super mahal yang tak bisa seenaknya didapatkan dari asal cetak uang. Mesin bank juga perlu dihentikan sesekali, untuk membuat uang receh tetap ada nilainya.
Andai saja banyak yang mengerti bagaimana dengan terseok Indonesia melengkapi jembatan-jembatan. Membuat pulau demi pulau tak perlu direngkuh dengan berenang.
Tapi kita adalah Indonesia, dengan warganya yang kadang tak mau tahu. Cukup sudah menuntut presiden menutup lubang-lubang yang muncul di sepanjang jalan. Berteriak-teriak seolah presiden adalah ayah yang rutin berkewajiban menafkahi uang jajan.
Hanya membuka mata ketika tol lintas Jawa sudah selesai. Membuka mata agar selamat di jalan raya. Memangnya apa yang akan kita lakukan tanpa pajak, membangun jembatan impian di atas awan? Negeri utopia hanya dalam kata kiasan. Orang akan lebih mengerti kehilangan ketika nasionalise telah benar-benar tiada.
Setelah lenyap berikut nama Indonesianya, sesal tak terbayangkan. Karena rakyat harus memulai kembali hidup seperti di dalam berita-berita. Berita tentang kota-kota di Syiria yang pecah berantakan. Dihantam dengan ranjau dimana-mana. Hidup di zaman purba, belajar lagi membuat api dari batu.