Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

The Intouchable, Menemukan Arti Persahabatan dalam Perbedaan

26 Oktober 2020   05:54 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:57 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film. (SUMBER GAMBAR: icecreamconvos.com

Ada kalanya hubungan antara majikan dan pelayan berubah sepenuhnya menjadi persahabatan. Seperti dalam film yang diangkat dari kisah nyata ini, The Intouchables. Bahkan cerita ini sudah dibuatkan remakenya, The Upside.

Alkisah, Philippe adalah orang kaya raya yang menjadi cacat seumur hidup karena sebuah kecelakaan. Dia hidup dengan perawat yang mengelilinginya untuk dapat melakukan aktivitas. Dan saat itulah tiba waktunya bagi Driss, pria berkulit hitam yang mendaftarkan diri untuk menjadi orang yang merawatnya.

Mereka dalam segi penampilan ibarat bumi dan langit. Driss orangnya kasar, dia pernah dipenjara. Berkulit hitam, dari keluarga tak berada, dan yang paling menonjol adalah sikapnya yang kadang seenaknya sendiri.

Tapi beberapa sikap itu yang membuatnya menarik bagi Philippe. Driss seperti tak pernah menganggap Philippe adalah penyandang disabilitas. Setidaknya itu mungkin memberi semacam warna baru, bagi Philippe yang kepribadiannya kadang sulit dimengerti, dan kegiatan sehari-harinya yang sudah jadi terasa membosankan.

Meskipun Philippe bisa berbelanja dan membeli banyak hal yang disukainya, lukisan mahal atau mobil mewah, dia seperti merasakan kesepian. Orang-orang disekitarnya tak benar-benar mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan. Dan seperti tak memperlakukannya sebagaimana dia mau. 

Meskipun dia sangat kaya. Tak banyak pelayan yang betah menemaninya hingga waktu yang lama. Lalu "persahabatan" itu mengubah hidupnya.

Sederhana alur ceritanya, namun cukup menyadarkan emosi bahwa meskipun bergelimang harta, apalah artinya itu semua bila kita tak bisa benar-benar menikmatinya.

Kiranya tak ada yang ingin disebut dengan embel-embel "tuna". Ada yang lebih suka dianggap normal, meskipun jelas-jelas kenyataannya mereka berbeda.

"My true disability is not having to be in a wheel chair. It's having to be without her." Cacatku yang sebenarnya bukanlah karena aku duduk di kursi roda. Tapi karena aku hidup tanpa dirinya...

Apakah kehilangan terbesar adalah kehilangan harta benda dan kekayaan? Atau bahkan kehilangan kemampuan untuk berjalan? Ada yang bilang kalau kehilangan terdalam itu adalah saat yang paling dicintai telah pergi. Bangun dan menemukan kita dalam kesendirian.

***

Sekian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun