Mungkin kalau belajar sekedar dalam rangka menjawab keingintahuan, atau semata-mata biar bangkit dari jurang kebodohan, yang akhirnya didapat adalah penasaran yang terjawab. Dahaga yang terobati. Bukankah demikian? Fitrah manusia memang dibekali rasa penasaran, dan itu tak bisa dipersalahkan.
Tapi jika memang belajar dalam rangka benar-benar ingin mengubah diri, ada cita-cita agar setidaknya juga suatu saat nanti mau menjadi orang berguna dalam arti sesungguhnya, maka apa yang akan terjadi? Siapa yang tahu.
Apakah terlalu sederhana cara berpikir menyikapi literatur? Bagaimana agar lebih menghargai sang pemilik pendapat dan pemikiran, orang yang dititipi ilmu pengetahuan itu sendiri. Bukan dengan memperlakukan semua itu jadi seperti statistik belaka. Berderet rapi dan indah, namun dianggap benda mati. Agak kasar bahasanya, tapi terkadang orang belajar kok malah ada yang mengamalkan peribahasa habis manis sepah dibuang.
Sederhananya, sesuai apa yang diutarakan Maulana Habib Luthfi. Malah akhirnya jadi "ngilani". Mana yang lebih baik? Mana yang paling benar? Pendapat ini salah. Dan lain sebagainya. Tak sadar dengan itu malah jadi juri.
Tentunya kalau kebenaran itu apokratif di mata manusia. Tapi kebenaran selalu absolut pada kenyataannya. Dan manusia tidak tahu, sebab jawabannya masih dirahasiakan. Orang cuma sekedar mencari jawaban dengan kesimpulan yang asumtif. Untuk itulah manusia jadi beradab. Tak ada yang seharusnya merasa "paling". Atau merasa berhak menentukan kesalahan secara mutlak.
Tentunya orang bisa belajar dimana saja. Tapi bukan seharusnya dengan tata krama yang buruk, semacam simbiosis parasitisme. Pengetahuan yang tertera dalam buku dan referensi bukanlah sekedar rangkuman abjad atau deretan numerik. Tapi lebih dari itu tidak selayaknya diperlukan sebagai sekumpulan data yang bebas diotak-atik. Lalu diberikan penilaian dengan congkak, bahwa yang ini lebih baik dari yang itu. Orang yang belajar bukanlah hakim yang bertugas menjustifikasi.
Nasihat buat diri sendiri, sepatutnya rendah hati, dengan senantiasa menghormati. Dan seolah-olah tulisan itu sekedar mewakili pertemuan imajiner dengan penulisnya. Beliau ada di depan saya, dan dengan sopan saya seharusnya bertanya baik-baik. Seperti yang diajarkan oleh guru-guru di surau dan langgar pada waktu saya kecil dulu.
Jika tidak sependapat bukan melakukan tindakan yang menjurus pada diskriminasi, atau malah jadi kena bias pemahaman bahwa (mungkin saja) saya lebih tahu. Tapi ternyata tidak. Bagaimana kalau memang tidak? Dan kenyataan memang tidak.
Belajar bukanlah seperti rumus matematika. Yang satu tambah satu sama dengan dua. Atau memiliki algoritma pasti, bahwa jika seseorang tahu banyak, lalu ada jaminan akan menjadi pribadi yang lebih baik. Tapi proses belajar adalah tahapan penuh misteri. Makin banyak tahu malah kadang makin berbahaya, atau makin banyak tahu malah kadang satu sisi makin jadi orang yang tak berguna. Apakah itu terdengar mustahil?
Belajar bukan sekedar mengobati rasa penasaran dan ingin tahu. Tentunya ada itikad yang lebih baik, dan kita perlu memahami itu dalam diri masing-masing.
Apa yang ingin saya sampaikan sebenarnya sederhana, bahwa saat membaca sebaiknya mempertahankan etika dan etiket juga. Meskipun yang menyusun kitab, buku, atau literatur itu tidak ada dihadapan, tapi kita bisa membayangkan kalau "seandainya ada, maka bagaimana?"