______________
pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari
(Sapardi Djoko Damono)
***
Sampai beberapa waktu setelah obituari ini sepi. Saya justru mengingatkan akan kehilangan itu lagi.
Sebenarnya lucu, saat seseorang mengaku kehilangan, kehilangan akan orang yang bahkan belum pernah dikenalnya, atau belum pernah ditemuinya. Dan beberapa dari mereka yang belum pernah membaca karya eyang Sapardi juga merasa kehilangan. Mereka hanya tahu kalau eyang Sapardi Djoko Damono itu punya karya ini dan itu. Tapi enggan membacanya kecuali barang satu atau dua puisi saja.
Juga akan menjadi lucu saat kita mengaku kehilangan eyang Sapardi, tapi tak mengenali ciri khas tulisan beliau. Tak bisa membedakan saat kita ditutup matanya. Lalu ada seseorang membacakan sebuah puisi.
Apakah ini khas tulisan eyang Sapardi? Apakah ini terasa seperti bau puisi Rendra? Atau Sitor Situmorang? Mungkin ini mirip dengan yang ada dalam puisi-puisi Amir Hamzah. Tebakan kita selalu meleset. Dan kita masih mengaku kehilangan? Jangan-jangan sekedar euforia dan ikut-ikutan. Sebagai bentuk rasa kemanusiaan, namun tak benar-benar diucapkan tulus dari hati.
Apakah kita pernah mengalami kehilangan yang sejenis itu? Di setiap hari kita kehilangan tetangga, namun bagi sebagian orang, mungkin sekedar menyumbangkan air mata barang setetes saja juga tidak terpikirkan. Orang bersimpati sejenak, lalu setelah lewat beberapa hari semua kembali seperti semula.