(Mungkin Sebuah Cerpen, Mungkin Tidak)
Suatu hari saat seorang pedagang makanan keliling membaca karya Ayu Utami. Dia jadi berandai-andai dengan tokoh utama yang jelita dalam cerita di salah satu novelnya. Suatu hari di Central Park. Tempat yang katanya sangat eksotis itu. Tapi ternyata tak lebih indah (mungkin) dari kebun belakang rumah tetangganya sendiri.
Central Park adalah taman rimbun, sementara dibelakang rumah tetangganya itu adalah hutan yang perawan. Tak terjamah dan menjadi rumah. Rimba yang bersanding dengan ekosistem murni. Dimana burung elang dan primata lain berdampingan hidup berbagi dahan pepohonan.
Dan segala kenyataan melarutkan kesadarannya. Saat seorang bocah menyodorkan uang dan minta kembalian. Juga minta dibuatkan jajanan tentunya. Sebab pagi tadi dia belum sarapan, katanya.
Terik matahari itu menjadi-jadi. Tapi segera berubah mendadak ada yang mengubur sorotnya. Mendung dan gerimis segera bertamu di tempat itu. Tapi apakah perubahan cuaca adalah hal yang musti dijelas-jelaskan? Sebab deskripsinya sudah jamak diketahui. Orang tahu kapan akan hujan, dan sedikit banyak mengerti kapan langit akan berpelangi.
Penjual makanan jadi merutuk kesal. Bukan mengingkari anugerah alam. Hujan adalah kerinduan para petani. Dan hadiah yang dinantikan rerumputan. Tapi siang itu si pedagang lagi butuh uang. Dia akhirnya berteduh di emperan toko yang menjual payung warna-warni.
Dan penjual payung nampak sumringah. Menyambut dia si pedagang makanan. Mau mengucapkan selamat datang, mau mempersilahkan. Atau mau mengenalkan payung-payung dagangannya supaya bisa dibawa pulang.
"Aduh pak, jadi hujan nih..." Kata si penjual makanan.
"Kenapa?" Penjual payung singkat saja menanggapi.
"Dagangan mungkin jadi sepi pembeli." Raut kecewa itu jelas.
"Yah, mau bagaimana lagi pak. Sudah satu minggu ini tidak turun hujan."