ANGGUN NAMUN BLAK-BLAKAN
Saat novel pertama Ayu Utami terbit, saya bahkan belum bisa mengeja. Belum sekolah dasar. Dan yang saya tahu waktu itu mungkin sedang krisis moneter. Acara televisi juga tak ada yang bisa saya ingat, bahkan iklannya yang paling membosankan sekalipun. Padahal biasanya yang bikin jenuh itulah yang lebih berkesan. Dan tak lupa-lupa.
Saya tak begitu paham sejarahnya. Karena tidak juga mengikuti berita, dan bukan pendengar setia forum diskusi sastra.
Dan Ayu Utami membuat gebrakan dengan sastra wangi. Yang begitu blak-blakan saat bicara tentang dunia orang dewasa. Mungkin anda sudah mengerti, sebab hal semacam itu gak perlu dijelas-jelaskan juga. Saat kemudian ada orang yang juga berani "mengumpat" dan mengutip kata vulgar seperti Djenar Maesa Ayu.
Dan entahlah apa yang dimaksud Y.B. Mangunwijaya dengan apresiasinya, bahwa karya Ayu Utami itu "dapat dinikmati dan berguna sejati hanya bagi pembaca yang dewasa. Bahkan amat dewasa."
Mungkin pembaca bisa saja menyelesaikan buku itu dalam satu hari, sebab jadi penasaran dan ingin lanjut membaca sekuelnya. Karena pembawaan yang mengalir dan unik, juga apa adanya. Menggugat bahasa bukan hanya sebagai pemersatu bangsa, tapi juga sekaligus media yang bisa menenangkan diri dengan sastra yang nyaman dibaca. (Mungkin) akan banyak orang yang belajar dari diksi-diksi yang dipilih Ayu Utami.
Sastrawan selalu punya cara terselubung, untuk mengkritisi pemerintah yang dianggap otoriter. Bagaimana dengan lembut membenci kesenjangan sosial. Atau bagaimana dengan bahasa yang ambigu (tapi pasti) menghujat kriminalisasi.
Mereka jadi aman dari orang-orang bertangan besi, sebab saat sastrawan mau dihukum karena kata-katanya yang menyakitkan, mereka bisa saja mengelak dan membela diri, bahwa yang ditulis itu sekedar metafora. Dan yang menanggapi itu berlebihan sungguh tak memiliki selera humor. Mungkin saja kekanak-kanakan.
Tapi setelah orang-orang pergi, penulis bisa tertawa-tawa geli. Seperti baru saja memaki-maki dengan bahasa makhluk alien yang hidup di lain galaksi. Puas, tapi untuk diri sendiri. Sastra seperti menyembunyikan jati diri seorang psikopat, hingga seolah jadi lugu dan nampak sebagai kutu buku.
Tapi lepas dari itu, bacaan ini sarat kontroversi. Namun menyenangkan karena sepertinya Ayu Utami melakukan riset mendalam. Sampai membahas kilang minyak atau dunia antah berantah yang belum bisa saya bisa jelaskan. Bahasa yang sederhana dan ringan, namun penuh kiasan.
Bacaan yang tabu dan tidak layak dibaca yang dibawah umur. Jadi, sebaiknya bila mau dijadikan dongeng sebelum tidur anak kecil, carikan saja kisah buaya dan kancil. Jangan novel Saman. Atau buah hati mungkin akan bertanya-tanya tentang hal yang tak semestinya. Dia jadi dewasa sebelum waktunya. Tentu saja andaikan bisa menangkap apa maksud dibalik simbolisme yang dipakai Ayu Utami itu sendiri. Atau bahasanya yang sering terang-terangan.