***
Sejarah bahasa Indonesia mengakar dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tidak lahir tiba-tiba. Ada proses panjang juga. Dan sebuah kebanggaan saat bahasa Indonesia sekarang begitu kaya. Lalu seperti yang Eka Kurniawan bilang, lewat kesimpulannya sendiri, bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa mandiri. Yang tak terikat lagi dengan bahasa Melayu.
Meskipun saat menyaksikan pertunjukan dangdut, masyarakat masih menyebutnya sebagai orkes melayu, O.M. Bukankah seharusnya O.D.? Orkes dangdut. Tapi siapa yang peduli. Sebab orang juga sudah telanjur biasa berkata "menanak nasi".
Indonesia telah meninggalkan Malaysia. Seperti kata Faisal Tehrani, seorang penulis senior Malaysia, bahasa Indonesia sudah "mengalami evolusi yang pesat sehingga pemerintah di sana tidak lagi dapat mengawalnya."
Memang sulit mengontrol standarisasi bahasa. Bagaimana mungkin, sebab kreativitas para penulis juga makin diperkaya dengan sastra. Dan sastra identik dengan kebebasan.
Tapi secara umum orang Malaysia, seperti yang Faisal Tehrani bilang, masih nyaman menikmati film Ada Apa Dengan Cinta. Dan beberapa dari kita juga masih senang menonton serial Upin dan Ipin.
Jadi, perkembangan bahasa Indonesia yang seperti belum bisa dikendalikan adalah masalah selanjutnya setelah ketidakpedulian masyarakat untuk berbahasa dengan baik dan benar. Mirip longsoran salju, saat satu problem belum paripurna, sudah ada kekhawatiran tentang masalah lain.
***
Kemudian diskusi tentang bahasa itu mengarah kepada kegelisahan kawan saya. Dia orang yang selalu terlihat tidak suka, saat bahasa satu dengan yang lain dibanding-bandingkan. Sebab baginya, setiap bahasa memiliki kelebihan. Bahkan termasuk juga bahasa diam.
"Berhentilah membandingkan satu bahasa Indonesia dengan yang lain. Mengunggulkan satu dan yang lain. Hanya karena kosa katanya, hanya karena umur dan jumlah serapan yang dia punya. Sebab selamanya, bahasa isyarat pun tak akan menjadi lebih rendah meskipun tanpa satu huruf pun kosa kata."
Mungkin dibalik kebersahajaan dirinya yang rendah hati, dia sedang begitu kesal mengatakan itu semua. Dia begitu dongkol saat bercerita bahwa sahabatnya mencoba membandingkan satu kosa kata dalam bahasa Jawa yang belum ada padanan katanya. Mungkin dalam hati dia berkata, memangnya kenapa?