CATATAN GAK JELAS TENTANG CERITA BELI BUKU "MENJADI MUSLIM MODERAT"
Ketika sekilas melihat buku ini saat masih masa pre order, rasanya "insting" saya tergerak. Ini buku yang bagus. Harus saya beli. Tapi akhirnya saya melewatkan masa pre order itu, karena memang belum memiliki uang.
Buku itu akhirnya lewat begitu saja dari daftar "want to read" di akun Goodreads saya. Disinilah saya merasa kadang uang juga penting. Hehehe.
Tapi setelah senior saya memperlihatkan daftar isi buku ini di Facebook, saya jadi mau gak mau harus beli. Ada rasa sayang seribu sayang kalau sampai gak beli. Bisa-bisa saya menyesal selama lima tahun ke depan. Meskipun gak punya uang. Meskipun harus pinjam dulu uang ke seseorang. Pokoknya beli. Dan alhamdulilah masih kebagian yang edisi tanda tangan penulis. Hehehe.
Satu kata, buku ini menarik untuk orang awam seperti saya. Yang ingin memulai pondasi belajar masalah akidah kembali. Masih pondasi. Saya bahkan tak tahu banyak dan tak bisa menjelaskan diskursus tauhid secara sederhana. Dulu saya belajar akidah di pondok gak begitu giat. Sebatas kejar makna. Ikut madrasah dengan kurikulum yang bagus, tapi jarang di muthalaah kitabnya. Mau kurikulum sebaik apapun, kalau orangnya malas juga sama saja. Salah saya sendiri sebenarnya. Tapi mau gimana lagi, waktu gak bisa diputar kembali.
Akidah tauhid di pesantren saya memakai pemikiran yang dirumuskan oleh Imam Sanusi. Lewat Syarah Ummul Barohin sebagai salah satu kitab tingkat akhirnya. Seingat saya, Syarh Ummul Barohin itulah kelas tertinggi di pesantren saya. Setelah itu, siswa mulai diajarkan diskursus tasawuf dalam kitab Mau'idhotul Mukminin.
Yang saya tahu tentang tauhid akhirnya hanya sedikit. Sebab saya adalah salah satu siswa yang gak disiplin di kelas. Saya itu salah satu orang paling gampang ngantuk di kelas. Tanya semua sahabat saya, pasti kesan mereka tentang saya begitu. Hehehe.
Pas pelajaran sering ketiduran, ditambah lagi ada musibah kitabnya jarang dibuka pula di kamar. Soalnya dulu yang diajarkan banyak sekali. Tidak hanya satu diskursus. Jadi, kadang saya merasa sampai terseok-seok jika semua harus didalami.
Saya baru menyadari arti penting ilmu akidah itu justru setelah gak ngaji lagi di madrasah. Saya pikir gawat juga kalau belajar otodidak. Tanpa guru sama sekali. Mau sok-sokan buka-buka kitab yang "berat-berat" akhirnya gak berani karena takut salah. Tapi kalau gak mbukak-mbukak kitab sama sekali juga akhirnya akan jadi orang bodoh selamanya. Disitulah akhirnya saya jadi dilema.
Sampai di rumah inilah akhirnya saya menyesal. Mau belajar lagi kok bingung harus mulai dari mana. Kitab saya masih di pondok semua. Akhirnya cuma bisa lihat kitab pdf yang ada banyak sekali itu. Tapi kok makin dibaca makin tambah bingung. Pikir saya, "pembahasannya kok jauh-jauh amat ya." Rasanya otak saya gak nuntut mau mengikuti. Yang nggambar di kepala saya cuma dasar-dasar saja. Kok ini di kitab yang saya temukan pembahasannya sungguh melangit. Memahami rumusan aqoid lima puluh dalam manhaj Imam Asy'ari rasanya gak cukup pakai "naluri", sebab logika juga harus jalan.
Mau konsultasi sama senior kok takut ganggu waktunya. Saya sebenarnya punya banyak senior tapi banyak yang sudah memiliki kesibukan masing-masing di rumah. Tak mungkin rasanya saya jika tiap hari harus mengajukan pertanyaan "sepele". Waktu beliau-beliau tentu jauh lebih berharga kalau cuma sekedar diluangkan buat anak kecil seperti saya.