Tidak hanya Churchill. Saya pernah baca kalau marsekal Inggris sir Claude Auchinleck menganggap bahwa Rommel punya arti "magis" bagi serdadu Inggris sendiri. "Saya memberi salut kepada dia sebagai seorang militer dan sebagai manusia. Dan saya sesalkan cara dia harus menemui ajalnya."
Padahal saya berandai-andai, jika Rommel masih hidup setelah perang berakhir, dia bisa seperti Marsekal Erich Von Manstein yang jadi penasihat militer. Atau bahkan seperti Eisenhower, yang bisa membangun kembali bangsa Jerman. Tapi sudahlah.
Dari buku Rommel kita bisa melihat "keharmonisan" diantara dua negara yang berperang. Sebab mereka menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria. Buku Rommel tentang perang di Afrika ini menarik, judulnya "Krieg Ohne Hass" atau "Perang Tanpa Benci". Orang Inggris juga ada yang menulis buku tentang dia, namanya Brigadir Desmond Young. Judulnya Rommel. Katanya isinya mengungkapkan tentang sifat fair di perang Afrika.
Kita juga perlu memperhatikan fakta-fakta sejarah dibawah ini. Agar jangan lagi memvonis kalau perang dunia kedua itu melulu identik dengan kekejaman Jerman. Sebab banyak tentara Jerman yang hebat, berjiwa ksatria, dan layak kita berikan penghormatan. Mereka bertempur demi memperjuangkan negara. Bukan semata-mata karena Adolf Hitler. Atau sekedar ambisi menguasai dunia yang banyak orang salah pahami.
Ini hanya kisah yang terkait dengan Erwin Rommel. Kisah jenderal dan perwira lain jauh lebih banyak. Begitu banyak sebenarnya jenderal Jerman yang dihormati sekutu setelah perang berakhir. Seperti mungkin jika anda ingat film The Pianist, ada perwira Jerman bernama Wilhelm Adalbert Hosenfeld. Dia menyelamatkan Wladyslaw Szpilman, seorang pianis Yahudi dari Orkestra Radio Polandia yang bersembunyi.
Kepada tentara Sekutu yang Rommel tawan, Rommel konon tetap memberikan jatah ransum dan pelayanan medis sama seperti yang dia dan prajuritnya terima. Dia juga tidak mengindahkan perintah Hitler untuk mengeksekusi unit Komando dan tentara Yahudi Inggris yang tertangkap. Tidak hanya itu, diceritakan bahwa dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Legiun Asing Prancis yang mempertahankan sebuah benteng di Libya, Rommel memilih untuk tidak menembak mati tentara musuhnya yang tertawan, yang ternyata adalah orang-orang bangsa Jerman juga.
Dalam sebuah sumber, konon dikisahkan bahwa Rommel pernah merobek-robek surat perintah Hitler yang memerintahkannya untuk mengeksekusi pasukan komando Inggris yang ditangkapnya dan setelah itu dengan tenang mengumumkan pada orang-orang di sekitarnya bahwa isi dari surat perintah tersebut tidak terlalu jelas.
Di front Afrika, tepatnya di Libya, prajurit Jerman dan Inggris sama-sama mendapat penghormatan dengan dikuburkan secara berdampingan. Pihak Poros dan Sekutu bertempur secara sportif dan memperlakukan para tawanan mereka dengan penuh perikemanusiaan sehingga medan pertempuran di Afrika dijuluki sebagai "War Without Hate" (Perang Tanpa Kebencian).
Hans Von Luck yang merupakan bawahan Rommel di Afrika juga menjujung perang yang beradab. Dengan "musuhnya" Inggris, setiap hari jam lima sore pertempuran berhenti. Saat itulah katanya pihak Inggris akan sibuk memanaskan air untuk teh mereka sementara Jerman membuat kopi. Seperempat jam kemudian Von Luck dan komandan Inggris akan saling berkomunikasi melalui radio.
Konon pernah suatu ketika ada perwira yang merebut sebuah truk suplai. Truk musuh itu dipenuhi oleh daging kalengan dan makanan mewah. Tapi  kemudian Von Luck melihat jam tangannya. Ini sudah lewat jam enam sore. Percaya gak percaya, Von Luck bilang pada si perwira, bahwa mau tidak mau truk itu harus dikembalikan karena dia merebutnya selepas jam lima sore. Si perwira ya tentu saja protes sambil berdalih bahwa ini adalah perang. Dan pasukannya sudah dari tadi mengambil makanan yang diperlukan dari truk tersebut.
Peristiwa lain. Suatu ketika, Von Luck mengetahui bahwa pihak Inggris menerima kiriman jatah rokok untuk satu bulan. Dia lalu menawarkan untuk menukarkan seorang perwira Inggris yang ditawan dengan satu juta batang rokok.