Padahal saya pernah baca bahwa Rommel begitu "menantikan" invasi di Normandia karena disitulah dia bisa bertempur secara adil dengan Sekutu. Di Afrika, Rommel banyak "dicurangi" karena kapal-kapal logistik nya terus menerus dikaramkan angkatan laut sekutu. Mungkin kalau boleh saya katakan, dia kalah menghadapi Montgomery di Afrika bukan karena kemampuannya. Tapi karena tak lagi punya amunisi dan tentara.
Seperti halnya Eisenhower, Rommel adalah orang yang "bersahaja". Ketika Rommel berangkat ke Paris pada awal Januari 1944 untuk bertemu dengan Rundstedt (yang tinggal dengan penuh kemewahan di Hotel George V), kota itu tampak bagi Rommel, seperti Babel, terlalu hiruk-pikuk. Ia ingin tempat lain sebagai lokasi markas besarnya. Ia ingin mengamankan Atlantik wall dari tempat yang tenang.
Ajudannya dari Angkatan Laut, Laksamana Muda Friedrich Ruge, mengatakan ia punya tempat yang cocok. Dalam perjalanan kembali ke Paris dari wilayah pantai, Ruge berhenti di Chatau La Roche-Guyon, yang terletak di Sungai Seine, di desa berpenduduk 543 orang, sekitar 60 kilometer di hilir Seine dari Paris. Chateau (istana) itu sudah berabad-abad menjadi tempat tinggal keluarga pangeran La Rochefoucaud.
Saya sepertinya pernah lihat kastil ini di scene film Rommel (2012). Tapi saya waktu itu belum tahu kalau itu kastil La Roche-Guyon. Saya cuma tahu markas besar Rommel di Normandia ya itu. Waktu seorang mata-mata Inggris George Lane tertangkap, Rommel sepertinya juga menemuinya disana. Kastilnya demikian sejuk. Dan tenang. Sebagai markas besar, tempat itu bagi saya sangat cocok untuk Rommel yang katanya penyendiri itu.
Thomas Jefferson pernah menginap sebagai tamu di situ menjelang akhir abad ke-18, ketika ia menjabat dutabesar Amerika untuk Perancis, dan teman pangeran yang paling terkenal, Franois, seorang penulis.
Ruge penggemar tulisan-tulisan La Rochefoucauld dan pernah bertemu dengan wanita bangsawan itu untuk menyampaikan rasa hormatnya. Laksamana Ruge menyampaikan kepada Rommel lokasi itu sempurna. Tempatnya di luar kota Paris, jaraknya sama ke markas besar Angkatan Darat Ke-7 dan Angkatan Darat Ke-15, dan kastil itu cukup besar untuk menampung semua anggota staf.
Saya bayangkan para anggota staf mungkin merasa jengkel harus meninggalkan kemewahan Paris dan membangun markas besar di desa sepi, La Roche-Guyon. Tapi mau gak mau ya harus.
Rommel itu orangnya cerdik. Beberapa saat setelah tiba di Afrika, konon ada satu kisah unik, supaya menimbulkan kesan bahwa pasukan Jerman yang datang berjumlah lebih banyak dari yang sebenarnya, Rommel memerintahkan agar panzer-panzer Jerman berputar kembali setelah berparade untuk menapaki rute yang sama. Intelijen Sekutu yang turut hadir menyaksikan parade katanya tertipu mentah-mentah. Seperti yang diharapkan Rommel, intelijen melaporkan berita yang "berlebih-lebihan" kepada markasnya.
Terkait kisah-kisah di Afrika Korps. Dikutip dari buku Stephen E. Amborse, "satu-satunya" kemenangan Inggris dalam perang itu, yakni di El-Alamein pada November 1942, diperoleh dalam pertempuran melawan Afrika Korps, yang kekurangan bekal, kekurangan senjata, dan kekurangan orang. Ketika memburu Afrika Korps yang sudah kalah itu sampai ke Tunisia, seperti halnya pertempuran berikutnya di Sisilia dan Italia, Angkatan Darat Ke-8 Inggris tidak banyak memperlihatkan naluri membunuh.
Tentara Jerman yang bertempur melawan tentara Inggris sering mengungkapkan rasa heran, betapa tentara Inggris melakukan hanya apa yang mereka perkirakan, tidak lebih dari itu. Bagi mereka mengherankan bahwa tentara Inggris berhenti mengejar musuh untuk membuat teh, dan lebih
mengherankan lagi, tentara Inggris menyerah bila amunisi mereka habis, bila bahan bakar mereka habis, atau bila mereka terkepung.
Jenderal Bernard Law Montgomery, komandan Angkatan Darat Ke-8, nampak jengkel saat menulis kepada atasannya, Kepala Staf Umum Kerajaan Field Marshal Alan Brooke: "Masalah dengan prajurit kita adalah mereka tidak memiliki naluri membunuh, "