Maka percaya saja untuk terus menulis. Mungkin saja dewi Fortuna akan berpihak. Jika toh tidak dipublikasikan saat masih hidup, mungkin ada anak cucu kita yang menemukan tulisan kita dan menerbitkan itu.
Seperti kisah Vincent Van Gogh, yang selama hidupnya lukisan dia tak laku. Hanya laku satu saja. Itupun yang beli saudara sendiri. Tapi setelah meninggal, cuma miliader saja yang mampu beli lukisan asli Van Gogh. Lukisan dia kini harganya milyaran.
Kenapa harus menyerah?
Bicara strategi, saya tak punya strategi. Sebab untuk melakukan hobi kadang tak perlu alasan logis. Kenapa anda suka bermain bola? Mungkin karena melatih motorik. Tidak juga, lebih tepatnya karena bermain bola itu menyenangkan. Menulis juga menyenangkan. Jadi tak ada strategi, selama saya bisa membuat hobi membaca dan menulis itu menyenangkan bagi saya. Itu sudah cukup.
Saya hanya mau menulis apa yang saya bisa. Mungkin seperti tokoh saya, KH. Husein Muhammad, yang rutin menulis di Facebook. Atau pak Dahlan Iskan yang rutin menulis di Jawa Pos. Suatu hari saat tulisan itu sudah banyak, kita hanya perlu menyatukan itu, dan membukukannya. Sederhana sekali.
Pepatah lama, jangan mengandalkan menulis untuk cari makan. Carilah pekerjaan lain sebelum mapan dengan dunia tulis menulis.
Manfaat sederhana menulis sebenarnya adalah menjalankan dawuh kanjeng Nabi Muhammad Saw. Saya gak merasa perlu mengutip hadis itu. Hanya saja kita yakin, saat orang sudah tak ada lagi, ia hanya bisa mengandalkan pahala mengalir dari ilmu yang pernah diajarkan. Sedekah jariyah, atau doa anak salih.
Intinya adalah pahala. Dan bekal setelah mati. Menjadikan tulisan kita sebagai ilmu yuntafa'u bihi. Ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia.
Menulis adalah kerja keabadian.
Sebab tanpa tulisan, mungkin madzab imam Syafi'i yang kita kenal tak akan sampai kepada kita. Seperti halnya madzhab imam Laist bin Sa'ad yang sayangnya tak terkodifikasikan. Hingga akhirnya menghilang.
Sekian. Mohon maaf terlalu panjang.