Mimpi tentang cita-cita adalah kisah masa lalu saya. Di sekolah dasar, oleh guru saya, semua orang di kelas dipaksa memiliki impian dan cita-cita. Semua orang harus punya cita-cita. Mereka ditanyai satu persatu.
Walaupun terdengar sederhana, tapi beberapa cita-cita yang disebut oleh kawan-kawan sebangku saya terdengar menakjubkan. Ada yang ingin jadi pilot, ada yang ingin jadi dokter, jadi masinis, atau bahkan nahkoda.
Saat kecil, mendengar semua itu jadi merasa bersemangat. Setidaknya ada visi misi di masa depan. Walaupun setelah dewasa, menyadari jadi pilot, masinis atau nahkoda adalah pekerjaan yang amat membosankan. Tak ada hebat-hebatnya sama sekali.
Ternyata itu hanyalah perspektif sederhana tentang kebahagiaan satu sisi yang hanya bisa dilihat anak kecil. Sebenarnya kemalangan yang ada jauh lebih banyak.
Jadi nakhoda misalnya, harus berpisah berbulan-bulan tanpa keluarga. Melihat pemandangan membosankan yang serba biru selama berminggu-minggu. Tak ada yang bisa diceritakan selain gemuruh suara ombak, dan bising suara mesin kapal.
Masa indah hanya sesaat, ketika terobati rasa rindu saat melihat daratan. Melihat dunia baru. Lalu sudah itu akan bosan. Kalau jadi penjaga musium, mungkin akan heran melihat tawa girang bocah-bocah kecil saat menyaksikan peragaan benda langka.
Tapi kita yang setiap hari melihat itu akan suntuk sendiri. Penat. Dalam hati berkata, tak adakah pemandangan lain? Aku ingin segera pulang dan nonton TV saja.
Cita-cita masa kecil saya sebenarnya jadi guru. Sebuah pekerjaan mulia yang diidam-idamkan banyak anak sekolah dasar. Propaganda tentang arti mencerdaskan sebuah bangsa. Betapa terpujinya pekerjaan ini?
Tapi saya bahkan tak ingat lagi, kapan cita-cita mengajar sekolah swasta itu kandas tiba-tiba. Seiring waktu yang berlalu, membuat saya tak pernah mau mengisi kolom cita-cita dengan hal itu kembali.
Hidup tak selalu sempurna, itulah pelajaran kecil dari kucing kecil asli Yekaterinburg bernama Rexie. Bahkan saat senyumannya yang mengembang lugu, dan juluran lidahnya yang seakan meledek semua orang, ia begitu bahagia. Padahal hidupnya serba kekurangan.
Dua kaki belakang Rexie tidak dapat digerakkan dengan normal. Berjalan di luar rumah harus pakai "kursi roda kucing". Dan saya banyak belajar dari hal itu. Maka biarlah hidup mengalir saja. Saya tak lagi punya cita-cita, tapi saya setidaknya punya hobi.