Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Film "Joker", Arthur Fleck, dan Roda Kehidupan

30 Maret 2020   06:28 Diperbarui: 30 Maret 2020   06:34 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ora Jelas

Banyak orang menonton film untuk mencari hiburan. Mencari inspirasi. Atau sekedar iseng-iseng mengisi waktu luang. Tak ada tujuan apapun selain cari tempat berteduh bersama seseorang. Tapi tentunya tidak setiap film menghibur. Sebagian malah menimbulkan "bekas luka". Semacam trauma. Semacam rasa terngiang sehabis keluar gedung bioskop. Maka fikirkan film macam apa yang akan kau tonton. Jangan kau sia-siakan waktu dua jam untuk hal yang percuma.

Begitu banyak review positif tentang film Joker membuat rasa penasaran jadi tinggi. Apa bagusnya? Apakah alur ceritanya? Atau kemampuan akting yang memukau? Karena sebagian film sekarang hanya menjual aksi, tanpa cerita yang bagus sama sekali. Mungkin, Joker punya kelebihan yang lain. Nyatanya, beberapa adegan memang keluar dari naskah. Seperti saat Joaquin Phoenix tiba-tiba terfikir masuk ke dalam kulkas, atau saat tiba-tiba dia menari habis bunuh orang. Sangat menjiwai.

Saran saya jangan menonton film ini saat sedang banyak masalah. Saat Minggu-minggu terakhir ini berjalan berat. Saat berbagai problematika terus menerus muncul. Saat baru saja dipecat dari pekerjaan, dan hati sedang kesal kepada semua orang. Lebih baik saat demikian menonton film Tom Cruise dan kisah Mission Impossiblenya. Atau nonton film Aladdin saja sekalian.

Bukan tahun dua ribuan. Tapi masih bersetting tahun delapan puluhan. Saat yang kaya dan miskin masih amat kontras. Yang miskin, dimanapun masih diperbudak yang kaya. "Kau sekarat di pinggir jalan dan tak ada yang peduli."

Arthur Fleck adalah orang biasa seperti yang lainnya. Siang dia bekerja sebagai badut. Dan malamnya sebagai komika. Rasa tak nyaman menonton film ini terasa untuk saya sejak awal. Dan tak kunjung berakhir hingga tulisan "The End" muncul. Film dibuka dengan nasib malang Arthur yang dipermainkan beberapa remaja. Dia dipukuli dan tersungkur jatuh di atas aspal. Tercekat dan menangisi nasibnya.

Ibunya, Penny Fleck menanamkan prinsip agar Arthur selalu tersenyum. Dan membuat orang lain disekitarnya tersenyum. Setidaknya demikian. Tebarkan keceriaan dimanapun. Ia berusaha bahagia bagaimanapun juga. Hingga akhirnya ia bisa menikmati profesinya sebagai badut. Tapi nyatanya hidup Arthur tidaklah demikian. Karena nasib buruk begitu bertubi menimpa. Seakan tak kunjung berhenti. Bagaimanapun ia mencoba tetap tersenyum.

Film menggambarkan Arthur adalah sosok yang sering mengumbar tawa. Tapi tak pernah tulus dia tertawa. Tawanya adalah tawa sarkasme, atau tawa akibat sindrom aneh yang dia derita, dimana saat dia merasa sedih atau tertekan, justru dia malah tertawa. Tawanya yang tulus hanya sekali, sepanjang film. Di penghujung film. Saat ia mulai benar-benar menjadi Joker yang jahat.

Melelahkan kalau terus menerus menulis spoiler. Aku kira akan menikmatinya, ternyata tidak juga. Film ini bukanlah saran yang tepat jika ingin mencari hiburan. Karena begitu banyak adegan muram. Dan jangan pernah berfikir, jika jadi Arthur, pastinya aku juga akan melakukan hal yang sama. Tidak. Aku kira tidak. Arthur Fleck sudah mengidap kelainan kondisi mental sejak kecil. Ditambah hidupnya yang suram. Tak jelas siapa ayahnya. Dipecat dari pekerjaannya. Ditertawakan oleh orang disekitarnya karena dianggap lemah. Kau tahu? Jika melihat badut dan kau adalah orang kaya raya, hal apa yang mungkin kau fikirkan tentang mereka?

Tapi hidup selalu seperti roda. Akan ada masanya bahagia. Dan akan ada masanya sedih. Hidup tak akan selalu penuh kekecewaan seperti yang Arthur alami. Kita hanya kurang bersyukur saja. Masih ada yang lebih kecewa dari Arthur, dan mereka tetap menjadi orang baik. Bukannya menyembunyikan ketidakpuasan dibalik topeng tawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun