Seputar Buku Perang Pasifik
Agak terlambat saat baru sempat menyelesaikan buku Perang Pasifik karya mendiang PK. Ojong. Padahal buku ini termasuk "wajib baca" bagi mereka yang suka sejarah perang dunia kedua. Saya sebenarnya lebih suka dan tertarik dengan teater Eropa daripada teater Pasifik. Lebih-lebih dalam perang dunia kedua, Amerika mendahulukan kancah Eropa daripada Asia Timur. European first. Itu perjanjiannya dengan Winston Churchill. Kekuatan Amerika yang dikerahkan untuk melawan Jerman adalah 85 persen, sementara untuk melawan Jepang hanya 15 persen sisanya, menurut buku ini.
Terbit tahun lima puluhan, buku ini membahas perang Pasifik yang saat itu masih hangat. Yah, karena Perang Pasifik baru usai bulan Agustus 1945. Saya suka, karena dalam beberapa bagian, cerita yang dituturkan begitu detil. Bahkan saat membahas pengeboman Tokyo oleh kolonel James Doolitle, ceritanya begitu lengkap. Setidaknya menjawab rasa penasaran saya bagaimana di tahun 1942 saat Jepang masih sangat kuat, ibukotanya bisa dengan mudah dibom dengan serangan udara. Mungkinkah sebuah kapal induk mampu mendekati teritorial Jepang tanpa ketahuan? Sebab nyatanya tidak mungkin langsung mengebom Tokyo lewat pangkalan udara di Midway.
Biang keladi perang, dan sebagainya. Agaknya sementara sudah cukup jelas. Meskipun pemimpin tertinggi Jepang adalah Tenno Heika Hirohito, tapi beliau hanyalah semata simbol. Kaisar Hirohito bahkan tak pernah mengambil keputusan taktis apapun. Meskipun semua info jalannya perang, baik menang maupun kalah tetap dikabarkan, tapi beliau seperti tak bisa berbuat apapun. Beliau lebih memasrahkan urusan peperangan kepada menteri perang, perdana menteri dan kaum yang punya paham militeris lain.Â
Pucuk tertinggi yang mengambil keputusan adalah perdana menteri Hideki Tojo. Kalau di Jerman ada Adolf Hitler, di Italia ada Benito Mussolini, di Spanyol ada Francisco Franco, di Soviet ada Josef Stalin, maka di Jepang ada Hideki Tojo. Kalau Jerman punya orang-orang seperti Heinz Guderian yang konon katanya berani mendebat Hitler sampai dipecat, maka di Jepang ada orang yang demikian disiplin dan cerdas seperti Isoroku Yamamoto.Â
Sukses jatuhnya Paris lewat operasi Fall Gelb tak akan berhasil tanpa Guderian, pun serangan udara Pearl Harbor tak akan sukses tanpa Yamamoto. Seandainya saja, Chester Nimitz dan tim intelejen nya tidak berhasil memecahkan operasi penyerangan Midway, saya cukup yakin pulau Midway akan jatuh ditangan orang sejenius Yamamoto. Lihat saja kancah di perang laut karang.
Saya juga baru tahu, meskipun rapat penting para jenderal dan laksamana selalu diadakan di istana dan diadakan tiga sampai lima kali seminggu, tapi Kaisar Hirohito tak pernah turut campur. Beliau hanya "menonton" dan hanya sekali (yah, katanya hanya sekali) berkomentar dan bertanya selama rapat yang berlangsung sejak perang dimulai sampai berakhir. Yaitu saat Jepang memutuskan menarik pasukannya dari Guadalcanal.
Juga, kesan pertama saat melihat foto salah satu perwira Jepang yang terkenal itu, Tadamichi Kuribayashi. Mungkin orangnya ramah. Nyatanya tidak. Saat mempertahankan Iwo Jima, ia bersikap tangan besi. Jika Jepang punya lebih dari satu orang semacam ini, mungkin Amerika akan sangat kesulitan. Jauh dari kesan angkuh saat melihat foto jenderal Douglas MacArthur. Yang gosipnya tidak begitu disukai oleh banyak perwira Amerika lain. Namun dia cerdas dan disegani. Entahlah.
Oh ya, saya agak geli ketika membaca "persaingan" jenderal MacArthur dan laksamana Chester Nimitz mencapai Tokyo. Mirip seperti "lomba" menuju Berlin antara aliansi sekutu pimpinan Eisenhower dengan group tentara merahnya Zhukov dan kawan-kawan. Siapa yang lebih dulu tentunya akan mendapatkan pengaruh penting pasca perang.Â
Sekutu tentu tidak mau Soviet lebih dulu mencapai Berlin. Karena gak mau nantinya paham komunis berkembang pesat secara resmi di Jerman. Tahu sendirilah bagaimana dinginnya Cold War pasca perang dunia kedua. Tapi antara MacArthur dan Nimitz ini lain. Persaingan antara Eisenhower dan Zhukov adalah wajar karena beda negara beda komando. Beda paham pula. Komunis dan liberal. Tapi kalau MacArthur dan Nimitz? Mereka satu komando dibawah satu negara.
Dulu saya kira "orang paling penting" di akhir perang Pasifik itu Nimitz. Setelah melihat bagaimana beliau memimpin anak buahnya merebut pulau Saipan dan Iwo Jima, yang menjadi tanda akhir keruntuhan kekuatan Jepang. Dua pulau itu jatuh, alamat buruk tentunya. Karena dari dua pulau itulah serangan udara dengan pesawat pengebom berat sekelas Boeing B-29 flyingfortress mungkin dilakukan.Â
Kita kan tahu, mana mungkin pesawat pengebom berat seperti itu berangkat dari kapal induk. Landasan pacu yang dibutuhkan tentu jauh lebih panjang daripada pesawat pemburu dan pengebom biasa lain semacam Dauntless atau Locked. Wong adiknya B-29, yaitu B-25 Mitchel saja seolah gak mungkin mau berangkat dari kapal induk. Walaupun nyatanya bisa. Perwira Jepang tak ada yang percaya enam belas B-25 berangkat dari sebuah kapal induk saat operasi Doolitle. Terjawab sudah alasan mengapa Nimitz yang lebih berjasa dan lebih dekat dengan homeland Jepang, tapi justru MacArthur yang tanda tangan pas penyerahan Jepang di USS. Missouri.
Memang hubungan antara angkatan darat dan angkatan laut agak kurang harmonis sejak dulu. Jepang juga demikian sebenarnya. Angkatan darat Jepang dalam beberapa hal juga tidak sepaham dengan angkatan laut. Terutama dalam isu pakta Tripatri.Â
Angkatan laut yang masih digabung dengan satuan angkatan udara dibawah Nimitz ingin lebih dahulu mencapai Tokyo, start dari pangkalan udara di kepulauan Midway. Sementara angkatan darat dibawah kendali MacArthur yang baru sukses memenangkan pertempuran Guadalcanal akan menuju Tokyo dari Irian Jaya terus melewati Filipina mencapai kepulauan Mariana. "Agar cepat", tidak seperti Nimitz yang menguasai pulau demi pulau yang dilalui dari jalur Midway, MacArthur lebih memilih untuk melompati beberapa pulau yang masih dibawah kendali Jepang.Â
Pulau-pulau tersebut dibiarkan tidak diserang, tapi hanya diisolasi agar terputus jalur logistik dan evakuasi baik dari darat laut maupun udara. Sebuah taktik cerdik untuk menghemat tenaga. Musuhpun akan dengan sendirinya mati kelaparan di pulau yang terisolasi. Tapi bagaimanapun juga, secara logika jarak yang musti dilalui MacArthur terlampau jauh dibandingkan yang harus dilalui Nimitz.Â
Semua harap-harap cemas tentang nantinya siapakah yang akan memimpin upacara penyerahan Jepang? Apakah MacArthur, ataukah Nimitz? "Persaingan" antara angkatan darat dan angkatan laut ini mau tidak mau harus membuat pimpinan tertinggi, presiden Roosevelt sendiri yang akhirnya turun tangan. Beliau mempertemukan jenderal dan laksamananya ini satu meja di Hawai. Seharusnya tidak perlu ada "persaingan". Baik angkatan darat maupun angkatan laut harus lebih harmonis dan solid mencapai tujuan akhir. Bukan sekedar menuruti ambisi dan mencatatkan nama dalam sejarah.Â
Menimbang sisi moril dan beberapa hal penting lain, maka akhirnya jenderal MacArthur yang akhirnya direstui. Memang saat itu nama MacArthur lebih dikenal. Apalagi dikalangan rakyat Filipina. Yang selalu menunggu dan setia kepada sekutu. Tidak seperti Indonesia yang termakan propaganda Jepang, Filipina tidak. Rakyat Filipina bahkan konon 95 persen benci kepada Jepang. Semboyan terkenalnya masih kita ingat saat ia "terusir" dari Filipina, "i shall return." Jadi ingat kata-kata Arnold Schwarzenegger Si Terminator yang begitu terkenal itu, "i Will be back!".
Peran media juga disorot. Sedikit banyak, pemberitaan media tentang kemajuan perang sangat mempengaruhi moril rakyat, baik Jepang maupun Amerika. Akan tetapi, media Jepang dan Amerika berbanding seratus delapan puluh derajat. Militer Amerika sangat terbuka kepada media. Wartawan diijinkan naik ke kapal perang. Diijinkan melihat langsung pertempuran. Bahkan turun langsung di lapangan. Hal yang sangat berisiko. Karena Jepang tidak akan pandang bulu, wartawan yang turun ke medan perang secara langsung ibarat sedang mempertaruhkan nyawa. Sebab kapanpun, dia bisa terkena tembakan atau pecahan mortir dari tentara Jepang.Â
Semua ulasan dan pemberitaan diijinkan, selama tidak merugikan militer. Dalam arti, tidak menyinggung strategi militer yang bersifat rahasia. Wartawan boleh mengkritik siapa saja, bahkan jenderal berbintang sekalipun. Sedangkan kemajuan perang yang sesungguhnya tidak begitu diketahui oleh rakyat Jepang, dan daerah yang menjadi jajahannya. Berita kemenangan dibesar-besarkan, dan berita kekalahan ditutup-tutupi. Bahkan kabar kekalahan sering diberitakan sebagai sebuah kemenangan.Â
Terbukti, berita kekalahan di Midway saja hanya diketahui segelintir orang. Bahkan, veteran Midway yang terluka sampai diasingkan, agar berita kekalahannya tidak menyebar. Keadaan sesungguhnya dari jalannya perang hanya diketahui oleh orang-orang penting, termasuk kaisar. Orang dekat kaisar sendiri bahkan sering tidak tahu.Â
Maka itu, upacara penyerahan Jepang kepada sekutu saja, yang termasuk berita sangat penting tidak sampai banyak diketahui oleh rakyat Indonesia. Hanya segelintir pemuda yang tahu lewat siaran radio. Tentu, strategi pemberitaan semacam ini dalam hal moril tidak menguntungkan Jepang. Sebab akhirnya rakyat Jepang jadi merasa diatas angin, dan bersantai-santai, sementara rakyat Amerika bersemangat kerja siang malam agar hasil industrinya semakin besar. Lihat kesaksian seorang tawanan perang yang dipaksa bekerja di sebuah galangan kapal Jepang.Â
Dia melihat sendiri, bagaimana penduduk Jepang bermalas-malasan karena merasa sudah menang berperang melawan sekutu. Informasi tidak disampaikan dengan benar. Orang Jepang tidak benar-benar tahu seperti apa Amerika. Mereka hanya terbuai sejarah, dulu pernah menang saat perang dengan Tsar Rusia yang wilayahnya saja lebih besar dari Amerika. Kekuatan Tsar Rusia waktu itu juga berlipat ganda dari Jepang.Â
Maka kali ini, pikir mereka kemenangan akan kembali terulang. Mereka tidak tahu produksi industri Amerika seberapa besar. Lebih-lebih, mereka tidak menyadari bahwa kekuatan yang sebenarnya dari militer Amerika sedang dipusatkan di teater Eropa. Keadaan mulai berbalik sejak daerah pulau Saipan dan Tinian dikuasai.Â
Rakyat Jepang sangat kaget ketika melihat pesawat pengebom berat Amerika beterbangan dengan bebas di langit kota-kota besar Jepang. Mereka menghancurkan separuh Tokyo. Mengebom Yokohama. Mengebom kota industri lain. Mulai timbul ketidak percayaan kepada pemerintah. Mulai timbul keraguan kepada militer. Perang yang sedianya dimaksudkan meningkatkan kesejahteraan, menghidupkan industri, justru berbalik menjadi malapetaka. Dimana jutaan orang kehilangan rumah mereka akibat serangan udara.
Bagi yang senang dengan ilmu strategi perang, PK. Ojong selalu menyelipkan beberapa pandangan beliau. Beberapa analisis tentang penyebab suatu pertempuran bisa dimenangkan. Seperti dimanakah letak kesalahan strategi yang diambil seorang jenderal. Atau dimanakah keberuntungan yang tak sengaja ditemukan. Seperti cerita tentang kesalahan laksamana Chester Nimitz yang menggunakan peta wilayah musuh "seadanya" yang ternyata sudah terlampau tua.Â
Sementara MacArthur yang dengan segala cara berusaha mendapatkan peta wilayah musuh yang paling up to date. Kita tentu tahu, kondisi geografi mudah berubah. Dan itu tidak menguntungkan saat akan dilakukan pendaratan amfibi. Yah, bahkan beberapa bab juga ada semacam penilaian, tentang total kerugian. Karam berapa ton. Kehilangan berapa serdadu. Jatuh berapa pesawat. Dan dilihat dari hal tersebut lantas siapa yang pantas disebut sebagai pemenang?
Beberapa informasi unik juga kadang terselip dalam buku ini. Seperti asal usul istilah Admiral, yang kalau di Indonesia disebut laksamana. Admiral adalah kata serapan dari bahasa Arab Amirul Bahr. D-Day adalah singkatan dari Debarkation Day, atau hari menurunkan serdadu dari kapal transporter. Maka semestinya istilah D-Day bukan lagi identik dengan hari pertama invasi Normandia di teater Eropa, tapi di teater Pasifik, D-Day lebih banyak terjadi. Sebab operasi amfibi sangat sering dilakukan.Â
Ada juga informasi lain, termasuk hal-hal mendasar. Seperti perbedaan antara tentara dan marinir. Jika tentara adalah yang bertugas dibawah satuan tugas angkatan darat, maka marinir adalah tentara laut. Tentara laut, tapi bukan ABK dari sebuah kapal perang. Dua hal itu berbeda. ABK bertugas di kapal, tapi marinir bisa melakukan pendaratan amfibi. Pemimpin marinir selanjutnya disebut jenderal, bukan laksamana atau Admiral. Maka sebetulnya marinir adalah corps yang lebih elit daripada tentara biasa. Proses pelatihannya saja bengis dan kejam. Nah, Informasi semacam itu sedikit banyak membuat buku ini layak dibaca dikala senggang. Yah daripada nonton film melulu...
Sudah dulu lah... Capek saya nulisnya... Masih ada yang pengen ditulis tapi tak terasa sudah sepanjang ini... Mohon maaf kalau banyak kesalahan. Soalnya nulis berdasarkan ingatan lebih sering gak akurat daripada kalau pas lagi ngadep bukunya langsung...
In frame: Jenderal MacArthur saat mendarat di Filipina setelah terusir ke Australia. Dia kalau gak salah bilang... "This is the Voice of Freedom, General MacArthur speaking.... I have returned..." Aku sudah kembali...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H