Kalau ditanya apa buku yang paling berkesan pernah kau baca? Banyak. Banyak buku memiliki kesan masing-masing. Semua memiliki tugas yang intens untuk mengubah pandangan hidup para pembacanya. Dan salah satu yang membekas dalam ingatan saya adalah buku catatan pinggir.
Bukan masalah apa. Tapi setidaknya penulisnya mewakili gaya tulisan yang ingin saya baca. Mas Goenawan Mohamad itu, dengan cakap bisa memadukan antara insting jurnalistik dan bakat seniman pujangga. Gaya penulisan Mas Goenawan Mohamad yang tegas dan tak pernah terduga alurnya sungguh menarik buat saya.Â
Tulisannya hampir seperti citarasa tulisan pak Kuntowijoyo. Walaupun gak bisa senikmat mengalirnya tulisan-tulisan Umar Kayam atau Emha Ainun Najib. Dalam hal sastranya, cukup mengingatkan saya pada karya-karya Ayu Utami dan Dewi Lestari. Tapi keduanya tadi sama sekali tidak mewakili dunia jurnalistik.Â
Dan keduanya lebih junior. Hanya cita rasa sastra yang kental dan tegas. Dalam hal ini, silahkan menilai, pembawaan Seno Gumira Ajidarma memang agak jauh, namun kental dengan bumbu yang hangat. Mungkin benar apa kata Hamid Basyaib, banyak sekali penulis dan esais era modern ini yang sulit lolos dari pengaruh tulisan-tulisan mas Goenawan Mohamad.
Ciri khas tulisan mas Goenawan itu, biasanya sangat unik dalam membuka esai. Dia bisa memulai kalimat dengan kata-kata yang sulit ditebak. Kata-kata yang membuat ketagihan untuk melanjutkan ke paragraf selanjutnya. Itu yang selalu saya pegang. Kalau menulis, buatlah intro sebaik mungkin. Agar pembacamu tak bosan, bahkan saat memulai di kalimat pertama.
Dan satu lagi yang saya suka. Mas Goenawan Mohamad ini tak pernah tergoda untuk menulis sesuatu yang sedang hangat. Peristiwa yang sedang geger-gegernya. Meskipun kolom di majalah Tempo saya yakin punya power untuk itu, tulisan yang menyinggung peristiwa terkini kebanyakan hanyalah sampah.Â
Opini pribadi yang semakin menambah panas suasana. Dan mas Goenawan Mohamad ini mengajak kita memaknai kembali peristiwa hari ini dengan kejadian masa lalu. Agar kita lebih belajar. Mengambil posisi ngadem-adem. Misalnya saja saat heboh ujaran kebencian mantan Gubernur Jakarta itu. Apa yang mas Goenawan Mohamad tulis? Tidak banyak. Hanya "menyuruh kita" untuk membaca kembali dongeng Harper Lee, dalam To Kill A Mockingbird.Â
Ada kemiripan setidaknya. Gubernur Jakarta itu, setidaknya sudah seperti mockingbird, burung tiru. Yang amat mudah dibunuh. Maksudnya, dengan isu rasial yang sedang menggema kala Harper Lee masih hidup, burung tiru adalah mangsa empuk. Dia lemah. Dan dia dihadang dimana-mana.Â
Sekarang isunya bukan rasial, tapi isu keagamaan. Orang dengan agama minoritas akan jadi mangsa empuk para penganut agama mayoritas, saat mereka melakukan "sedikit" kesalahan. Apapun itu kesalahan minoritas tak termaafkan.
Dan saya lebih senang, ada penulis seperti mas Goenawan Mohamad. Yang menulis untuk dirinya sendiri. Bukan karena uang, bukan karena tuntutan pekerjaan, untuk memuaskan suatu komunitas, atau menulis atas permintaan seseorang. Kita, sebaik apapun, tidak mungkin bisa membahagiakan semua orang.Â
Tak bisa membuat sesuatu yang disukai semua orang. Maka, setidaknya kita bisa membahagiakan diri sendiri dengan apa yang bisa dilakukan. Walaupun itu hanya bercerita tentang keluh kesah, tentang kesenangan, atau tentang hal menarik yang baru saja didengar.