Hari itu, tahun 1945. Bangunan hancur ada dimana-mana. Kota ini benar-benar kota mati. Hampir tak ada tanda-tanda kehidupan. Sekali lagi, Polandia dicabik negara lain. Teritorialnya dikuasai bangsa asing. Lagi dan lagi. Posisi Polandia memang sangat tidak menguntungkan. Orang Polska, sebutan asli buat nama Polandia, terjepit diantara ambisi banyak raja-raja di Eropa. Mulai zaman invasi Mongolia, hingga era Napoleon Bonaparte, Tsar Rusia, bahkan perang dunia, pertama dan kedua. Polandia seperti tak pernah absen untuk "terpaksa" terus dan terus berperang.
Malam itu, Wladyslaw Szpielman, sudah sangat kelaparan. Ia lama bersembunyi di atap sebuah rumah yang hancur. Dia sudah lelah sembunyi dan terus sembunyi. Nasib mungkin tak akan baik jika dia berani menampakkan diri di bawah matahari. Polisi militer, atau yang lebih dikenal dengan Schutzstaffel (disingkat SS) akan membunuhnya.Â
Malam itu Szpielman turun dari persembunyiannya. Dia berusaha untuk membuka sebuah kaleng makanan yang ditemukan. Dan tak sengaja, usahanya membuka kaleng memancing suara. Kaleng itu jatuh menggelinding, ke bawah kaki seorang perwira Wehrmacht. Perwira itu mendekat, dan memandang iba. Szpielman mungkin berpikir inilah akhir hidupnya. Mati ditembak tentara Jerman.
Dia sudah benar-benar pasrah. Meskipun memegang sebuah besi, yang tadinya dipakai untuk membuka kaleng, dia tak berminat melawan. Dia lebih memilih untuk diam. Dan mungkin menurut, atas takdir yang memilih malam itu.
Namun Szpielman sedang beruntung malam itu. Si perwira merasa kasihan kepada Szpielman, melihat keadaan Szpielman yang sangat menyedihkan. Kurus kering, rambut acak-acakan, jenggot lebat, serta baju lusuh. Perwira tersebut sama sekali tak memiliki niat membunuh Szpielman. Dia bertanya kepada Szpielman, kamu seorang Yahudi? Szpielman tak menjawab. Apa pekerjaanmu? Pianis. Seorang pianis? Mainkan sebuah lagu untukku.
Perwira itu menuntun Szpielman ke sebuah ruangan. Disana sudah ada sebuah piano yang tidak rusak. Tak ada kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Szpielman malam itu. Piano adalah hidupnya. Dia sering bermain di radio Warsawa. Sayang harus dia tinggalkan, semenjak perang meletus. Seluruh kehidupan normalnya, seluruh keluarganya.
Kita bisa melihat betapa rindunya Szpielman memainkan piano. Meskipun lama tak menyentuh not, dengan lentik dia masih dapat memainkan sebuah lagu. Ballade in G minor, ciptaan komposer terkenal, Chopin. Lagu yang begitu menyentuh emosi. Disinilah si Perwira mendengarkan dengan perasaan kagum. Atau lebih tepatnya mungkin, perasaan iba.
Esoknya, dia kembali datang. Naik, mencarinya ke loteng. Dan membawakannya sebuah makanan lezat.
***
Itu adalah salah satu adegan klimaks di film The Pianist karya Roman Raymond Polaski. Film itu menggambarkan diskriminasi Jerman dalam masa pendudukan di Polandia.
Wladyslaw Szpielman, tokoh utama dalam kisah itu adalah figur nyata. Dia keturunan Yahudi. Jadi dia dan seluruh keluarganya benar-benar mengalami masa pahit. Saya tidak akan berpanjang cerita tentang Holocaust. Sudah cukup. Rasa sedih itu, tak perlu diingatkan lagi.