Sedang keluarganya, akibat gagal berkembang di Lasao dipulangkannya lebih dulu ke kampung halamannya tanah jawa. Selama di Unaaha, dirinya melakukan segala macam kerjaan hingga akhirnya menetapkan dirinya sebagai pemulung. Di akhir tahun 2015, dirinya memutuskan untuk menetap di depan komplek Rujab Pejabat Konawe di Kelurahan Ambekairi, Kecamatan Unaaha, Kabupaten Konawe.
Nurhadi membangun gubuknya di atas tanah seorang dermawan yang meminjankan tanahnya, hitung-hitung jadi penjaganya. “Daripada sewah kos-kosan kan biaya lagi. Setidaknya begini meski pas-pasan ngak mikirin biaya lagi tiap bula.” kata Nurhadi
dengan nada malu-malu.
Nurhadi mengaku tak pernah merasa malu dengan profesinya, sebab menurutnya prinsip utamanya adalah selama masih sehat maka masih ada usaha yang bisa dilakukan dibanding dengan berbuat yang tidak-tidak.
Nurhadi sendiri punya satu keingan besar, yakni kembali ke kampung halaman bertemu keluarganya. Dirinya berharap kelak ia mampu kembali bersama keluargannya ke tanah Konawe dengan kehidupan yang lebih baik.
CERMIN RETAK GAMBARAN KEMISKINAN DI KONAWE
Ironis memang, ditengah propaganda yang digaungkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe sebagai wilayah yang memberantas kemiskinan, rupanya berbanding terbalik dengan cerminan yang ada di depan komplek Rujab Pejabat.
Bukan hal asing memang ada warga miskin dalam sebuah wilayah, namun gubuk reot di depan istana adalah gambaran luar biasa kegalalan sebuah pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.
Alih-alih Pemkab Konawe bahkan menggagas Peraturan Daerah (Perda) tentang pemberantasan kemiskinan tahun 2016. Namun sayang, Perda kini tinggal tulisan, bebas kemiskinan tinggal cerita. (**)
Sumber : Berita Lokal Sulawesi Tenggara (www.kampungsultra.com)