Mohon tunggu...
Devita Putri Viramanti
Devita Putri Viramanti Mohon Tunggu... Jurnalis - Bismillah, Insya Allah siap untuk kembali menulis

Psychology for Human

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Keringat Tanpa Batas

9 Desember 2015   06:24 Diperbarui: 9 Desember 2015   07:56 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pada malam hari di salah satu kolong jembatan kota terlihat seorang anak remaja laki berusia 18 tahun duduk melamun sambil bersandar pada gubuk tua . Anak laki itu mengusap air mata yang tersisa di pipinya, matanya terlihat merah dan masih terdengar sisa isakan tangis dari mulutnya.Tak lama keluarlah dari gubuk tua seorang wanita lansia tidak beralaskan kaki yang datang mengahampiri anak itu dengan langkah lambat seperti menahan sakit pada kakinya. ”Kembalilah nak, ini sudah larut malam. Maafkan Emak untuk hari ini karena tidak bisa memberikan uang seperti biasa .“ ujar wanita itu menahan seraya ingin meneteskan air mata, namun anak itu tetap diam dan tidak menghiraukannya. “Percayalah nak, Emak janji besok akan memberikan uang hasil memungut sampah dua kali lipat dari biasanya dan Emak akan berangkat setelah subuh.” katanya sambil merayu. Mendengar kalimat tersebut tanpa sepatah kata, sang anak berdiri dan langsung masuk ke dalam gubuk tua .

Sudah sekitar tiga tahun semenjak menyandang status sebagai anak yatim, sikap Raka perlahan mulai berubah. Memang dulu Raka adalah anak berprestasi, meskipun kehidupan ekonominya tidak jauh berbeda dengan sekarang. Namun sifat itu seketika berubah, ia tidak pernah absen untuk meminta uang sebesar sepuluh ribu rupiah setiap harinya yang jika dirasakan terlalu sulit bagi seorang wanita tua dan berprofesi sebagai pemulung serta hanya mengandalkan kebutuhan sehari – hari dari kegiatan tersebut. Tidak hanya itu, Raka sering memberi tau Emaknya bahwa dia mendapat nilai buruk. Raka selalu pulang larut malam dan ia jarang makan masakan Emak yang susah payah dibuatkan untuknya. Anehnya, tidak sedikitpun rasa mengeluh, kelelahan dan pantang menyerah dari Emak untuk mengabulkan permintaan anak semata wayangnya tersebut. Jika tidak bisa memberikan uang sepuluh ribu rupiah, Emak hanya bisa menangis dan kecewa pada dirinya sendiri. Sedangkan apabila permintaan tersebut tidak terpenuhi, Raka langsung diam dan tak mau berbicara sedikitpun pada Emaknya .

Keesokan harinya Raka bangun kesiangan. Raka keluar kamar dan dilihatnya dari kejauhan sepiring nasi dan kerupuk serta seragam sekolah di atas kursi. Ketika mendekat ke kursi, terlihat sepucuk kertas dengan tulisan tidak rapi, penuh coretan yang sulit dibaca oleh Raka dan itu adalah surat dari Emaknya. “Raka maafkan Emak tidak membangunkanmu pagi karena kamu terlihat kelelahan dan sedangkan Emak harus menepati janji, jadi Emak terpaksa meninggalkanmu dan hanya bisa menyiapkan sarapan serta seragam ini untukmu.” Usai membaca surat tersebut, Raka langsung bergegas menyiapkan diri dan berangkat sekolah tanpa memakan sesendokpun sarapan yang disiapkan Emaknya.

Terlihat kota sudah sepi seperti menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Emak masih berdiri di depan gubuk menunggu Raka yang belum pulang.Tak lama terlihat Raka dari kejauhan. Emak tersenyum manis melihatnya dan langsung menghampiri. ”Nak ini uang hasil Emak mulung tadi, Allhamdullillah lumayan banyak sampah yang bisa Emak dapatkan. Sekarang masuk, makan setelah itu tidurlah agar besok kamu bisa bangun sholat subuh.” Ujar Emak sambil memberikan uang kertas pecahan sejumlah dua puluh ribu rupiah yang kusut. ”Mak ini ada undangan dari sekolah buat perpisahan besok dan Emak harus datang.” ujar Raka dengan menyodorkan kertas undangan”. Dengan hati senang Emak berkata “Tidak terasa engkau sudah harus kuliah. Jangan khawatir nak, Emak berjanji akan membantumu mencari tempat kuliah yang kamu inginkan. Meskipun nilai kamu tidak bagus, setidaknya masih ada Universitas Swasta yang bisa mengabulkan cita – citamu”.Namun tanpa berkutip apa – apa, Raka masuk ke dalam gubuk.

Memang Emak tidak lupa untuk datang ke acara wisuda Raka, akan tetapi Emak juga harus menepati tanggung jawabnya memberikan uang kepada Raka dan tetap bekerja di hari itu. Dengan membawa karung, Emak menuju ke sekolah Raka . Dari luar gerbang, Emak melihat Raka bersama teman – temanya. “Raka ... Kemarilah nak.” teriak Emak. Seketika semua temannya terkejut melihat Emak yang berpakaian kusut dan membawa karung. Raka pun berlari ke luar gerbang dan menemui Emaknya, ”Mak, apa maksud Emak berpakaian seperti ini dan membawa karung in ?. Ini acara wisuda Mak ...... Sekarang lihat mereka semua memandangi kita. Sudahlah Mak, Raka kecewa dengan Emak .”ujar Raka dengan mata berkaca – kaca. Raka pun berlari kabur dari wisuda tanpa mendengarkan sekatapun yang terucap dari mulut Emak yang mulai meneteskan air mata.

Ketika sampai di rumah setelah bekerja hingga sore, Emak tidak melihat Raka. Saat itu Emak ingin sekali meminta maaf kepada Raka dan menjelaskan kejadian tanpa maksud buruk itu, namun yang ditemukan Emak hanya sepucuk surat. ”Mak , Raka sudah sangat kecewa dengan Emak. Raka tidak bisa tinggal lagi dengan Emak. Tolong jangan cari Raka Mak.... Raka akan ke luar kota yang jauh dari sini ”. Demikian surat singkat yang membuat badan Emak seketika gemetar tidak kuat dan langsung terjatuh menangis terisak – isak .”Ya Allah kuatkanlah hati ini . kemana perginya anakku ?” ucap Emak serasa tak kuasa lagi berbicara

Hari demi hari berlalu berganti minggu. Begitupun minggu berganti bulan dan tahun. Tiga tahun berlalu, kondisi Emak semakin memburuk setelah setahun terakhir ini jatuh sakit – sakitan. Setiap malam Emak harus membendung air mata karena rasa rindunya dengan Raka  Untunglah ada mbak Siti yang tinggal di dekat gubuk Emak. Mbak Siti setia merawat Emak dan sering mengantarnya ke puskesmas. ”Nak Siti, kira – kira kapankah Allah mempertemukanku dengan anakku Raka?“ tanya Emak dengan berbaring di atas tempat tidur lemas. ”Tenaglah Mak, Siti yakin Raka di sana baik – baik saja dan Raka akan bertemu dengan Emak” jawaban yang selalu sama dari mbak Siti. ”Mak izinkan saya pulang sebentar mengambil sesuatu” minta mbak Siti. “Silahkan nak....”jawab Emak dengan mengangguk

Ketika kembali ke gubuk Emak, mbak Siti membawa sebuah kotak seperti kotak bekas kue .

“Mak .... Saya rasa ini sudah saatnya saya jujur kepada Emak .Ini adalah kotak dari Raka yang ia titipkan kepada Siti sebelum ia meninggalkan Emak. Tapi Raka ingin agar kotak ini Siti berikan setelah waktunya tepat dan tiga tahun berlalu. ” Ujar mbak Siti dengan nada mulai tak jelas dan mulut gemetar ingin menangis. Emak kebingungan ketika membuka kotak tersebut dan dilihatnya banyak uang pecahan kertas kusut serta sepucuk surat ”Apa ini nak? Mengapa sangat banyak sekali uang.”

“Ini ada sepucuk surat Raka untuk Emak.

Siti akan membacakannya Mak...” ujar mbak Siti dengan mengusap air matanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun