Mohon tunggu...
Kampret Semedi
Kampret Semedi Mohon Tunggu... -

Manusia yang baru belajar menulis, sehabis semedi, agar bisa turut sekedar berbagi , meski hanya berita basa basi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

EGP Budaya dari Mana ?

17 Juni 2016   20:22 Diperbarui: 17 Juni 2016   20:34 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

EGP ak Emang Gua Pikirin, menjadi lazim dan biasa entah sejak kapan, entah  darimana pula budaya ini berasal. Padahal bicara tentang budaya dan kebudayaan, biasanya setiap negara akan dengan bangga mengakuinya. Namun entah kenapa ku search di Google, tidak kutemukan dari mana budaya EGP berasal, tak ada sumber valid yang dapat dipercaya, namun herannya budaya ini sering kutemukan disini, di negeri kita tercinta ini, entah di negara lain, aku belum pernah studi banding kesana.  

Seperti yang kusaksikan sendiri, baru baru ini,  saat berjalan jalan di Carefour dengan istri, kulihat ada anak kecil dibiarkan begitu saja oleh orang tuanya, bermain di atas kolam plastik yang dipajang di toko mainan. Bermain di kolam plastik saja tentu masih dalam batas toleransi, tapi anak itu memakai sepatu dan sudah cukup besar dan berat. Tentu kolam yang terbuat dari plastik ini akan rawan bocor dan rusak. Mengapa terjadi pembiaran begitu saja dari orang tuanya ? Juga dari penjaga toko mainan yang seharusnya digaji untuk mengawasi barang barang yang ada ditokonya tersebut.

Mungkin dalam hati penjaga toko, Emang Gua Pikirin, toh mainan ini bukan mainan gua, kalau rusak juga bukan gua yang rugi. Atau orang tua anak tersebut juga berpikir seperti itu , EGP, bukan barang gua, asal anak gua senang, tanpa harus gua beli, biarkan saja, toh yang jaga toko tidak melarang.

Kepingin rasanya menjewer orang tua anak tersebut, agar bisa menasehati anaknya , whe hee eheeh. Tapi aku malas membuat perkara, apalagi di bulan puasa. Apakah ini juga termasuk sindrom EGP? Emang gua pikirin, anak juga bukan anak gua, toko juga bukan toko gua, kenapa mesti gua yang kesal dan marah, sampai mendumal dalam hati. 

Ada juga contoh kasus, dari video Wa yang dikirimkan teman, disana terliput, seorang pengepack durian, yang setiap kali mewrap durian dengan plastik bening, pasti membuang ludah diatas durian durian yang dipacking tersebut. Jijik sekali aku melihatnya. Dimana nuraninya saat berbuat seperti itu? Apa alasannya , apa tujuannya, apa untungnya, pikirku gemas dan lagi lagi marah melihat tingkah polah yang benar benar diluar batas logika tersebut.  Aku tidak tahu , apakah video itu hasil rekayasa, atau benar benar ulah penjual durian yang tidak memiliki hati yang bernurani. Bila itu benar , tentu lagi lagi budaya EGP bermain didalamnya. Emang Gua Pikirin, elo makan tuh ludah gua, siapa suruh lu bego mau beli duren gua.

EGP menjadi budaya yang berurat akar, menyebar tanpa perlu disosialisasikan. Tidak seperti kampanye pajak, yang meski diulang ulang dengan jrogan " Orang bijak bayar Pajak" tetap saja orang tak bijak bijak, bahkan menghindari pajak, hahahaaa. Bermotor ugal ugalan menyalib tanpa lampu sein dan melihat kaca spion. Alasan apalagi bila bukan EGP ! Yang penting gua cepat sampai, mau nanti "amit-amit " serempet orang, itu urusan belakang, sekarang tancap gas bro, jagoan bro, hebat bro, preman jalanan bro .

EGP juga ada saat orang asik merokok, padahal area itu jelas tertulis no Smoking Area. Entah matanya buta, kelilipan, atau sekali lagi EGP !

Emang gua pikirin bro,  asap gua mau bikin lu sakit, mau bikin lu batuk, mau bikin lu marah, yang penting gua bisa merokok!

Masih banyak contoh EGP- EGP lainnya, seperti yang dipertontonkan para Wakil wakil rakyat itu misalnya, Protes sana sini, gaji kurang , tunjangan kurang, etc etc, tapi Istri mereka terbukti bisa ngeksis di medsos, bawa tas prada, nongki nongki di Jepang, keren bro, dimana letaknya kurang uang dan tak cukup gaji  ? Heran cuyyy, apa matanya buta ngga bisa lihat, rakyat yang diwakilinya belum tentu bisa beli makan sebulan, atau dia tidak pernah lihat rakyat yang diwakilinya ngantre menunggu layanan rumah sakit saat berobat memakai kartu Bepejees ???? Atau lagi lagi ini budaya EGP, emang gua pikirin ! Elo siapa, cuma rakyat jelata, gua dong coy wakil rakyat !

Ah bicara EGP itu banyak, karena sudah jadi budaya, entah budaya darimana, siapa penyebarnya, sejak kapan dan bagaimana menghentikannya.  Andai saja budaya EGP bisa dipangkas, sedikit saja dari negeri ini, tentu akan ada negara dengan budaya yang lebih baik dan santun. Contohnya : Tidak membuang sampah sembarangan, mengantre dengan patuh, santun di jalan, santun di tempat kerja, santun dimanapun.

Revolusi mental tidak dimulai dari sekolah setinggi pencakar langit, tidak juga dimulai dari teori yang rumit rumit . Revolusi mental terjadi disini, dikegiatan sehari hari, hilangkan satu EGP, hilangkan lagi EGP lainnya, perduli itu mudah, namun tentu perlu latihan. Latihan itu dimulai sejak kapan ? Sejak sekarang, tidak nanti, dan tidak lain kali. Dia berlaku global, bukan hanya untuk rakyat jelata, tapi juga untuk pemimpin pemimpin terhormat yang katanya contoh dan guru masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun