Sebagai sebuah sistem kekerabatan, unit terkecil dalam struktur sosial Minangkabau ialah terdapat pada satuan genealogis (keluarga), disebut samande atau seibu menempati satu rumah gadang. Kemudian kumpulan yang lebih besar lagi disebut saparuik dimana berasal dari satu ibu. Kesatuan saparuik ini dipimpin oleh satu orang mamak, saudara laki-laki dari ibu, dalam satu kesatuan yang disebut Mamak Kapalo Warih. Kumpulan saparuik ini kemudian membentuk suku (kaum) yang merupakan bagian utama dari struktur sosial dalam nagari Minangkabau.Â
Sebuah suku dipimpin oleh Penghulu Suku yang menyandang gelar pusaka turun menurun. Namun pada satu garis keturunan suku yang berkembang bisa berpecah menjadi beberapa suku lagi dengan Penghulu Suku sebagai pemimpinnya. Sebuah suku akan tinggal dalam satu pemukiman yang membuat suku tidak hanya menjadi satu kesatuan genealogis namun juga kesatuan teritorial dan politis. Nagari merupakan wilayah kesatuan teritorial-genealogis yang menjadi tempat suku bermukim.
Minangkabau menaruh kedudukan Mamak berbeda dengan ayah. Berbeda dengan pemahaman lain bahwa Ayah ialah pemimpin tertinggi dalam sebuah keluarga, Minangkabau memiliki konsep kepemimpinan pada seorang Mamak. Mamak, seperti yang sudah dijelaskan di atas ialah saudara laki-laki dari ibu.Â
Kepemimpinannya yang berada pada struktur paling bawah membawa kesimpulan bahwa mamak adalah saudara laki-laki tertua dari ibu. Masyarakat Minangkabau memiliki pepatah adat yakni, "Kemenakan barajo ka Mamak, Pangulu barajo ka Mufakat, Mufakat barajo ka nan bana. Bana badiri sandinyo." Artinya, semua kepemimpinan ini kembali pada satu hal, yakni "nan bana" atau kebenaran, karena sesungghunya kebenaran itulah ide yang bersifat transdental dan immanen, yang tidak dapat dipertentangkan dengan akal dan akal sehat (Naim: 1986, 46-47).
Ketika ada sebuah keluarga, pada masa dahulu, mamaklah yang akan membiayai dan mengajari kemenakannya. Ayah perannya dalam keluarga masih ada, namun dia juga menjadi mamak orang lain dalam keluarganya. "Anak dipangku, kemenakan dibimbiang", begitulah pepatah adat Minangkabau yang masih melekat jelas di kepala saya mengenai konsep mamak dalam sebuah keluarga Minangkabau. Sebagai seseorang Mamak, dialah yang mengajari kemenakannya, tentang baik dan buruk, memberikan pemahaman tentang kehidupan.
Selanjutnya ialah sistem kepemimpinan Minangkabau. Di Minangkabau, ada dua mekanisme kepemimpinan yang berbentuk keselarasan yang menjadi model kepemimpinan utama. Dua kelarasan itu ialah kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago, biasa disebut Lareh nan Duo.Â
Bentuk kepemimpinan masyarakat Minangkabau berbeda dengan di Jawa, hal ini dapat dilihat dalam institusi-intitusi adat yang ada dimana masyarakat Minangkabau menjadikan pemimpin tertingginya di tangan penghulu, bukannya raja. Sistem ini didasarkan pada sistem matrilinial pada tingkatannya masing-masing. Dari perspektif adat Minangkabau, para pemimpin ialah orang yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Artinya, pemimpin dekat dengan kaum yang dipimpinnya, jarak antara pemimpin dan kaum tidaklah jauh.
Lareh Koto Piliang bersifat aristokratis. Sistemnya bajanjang naiak, batanggo turun atau titiak dari ateh. Artinya, keputusan dan kekuasaan tertinggi berada pada atas tangga pada susunan kepemimpinan, yakni Limbago Pucuk Adat atau Penghulu Pucuk. Sistem kepemimpinan Lareh Koto Piliang ini dicetuskan oleh Dt. Katumanggungan. Urutan pemberian perintahnya akan menjadi: Limbago Pucuk Adat - Suku - Kaum - Paruik - Rumah Tanggo (dari atas ke bawah).
Sementara itu, sistem kepemimpinan lainnya ialah keselarasan Bodi Caniago atau Lareh Bodi Caniago yang prinsip kepemimpinannya duduak samo randah, tagak samo tinggi. Keselarasan ini memiliki aturan mambasuik bumi, artinya, keputusan muncul dari bawah. Hal ini selaras dengan kata Bodi Caniago yang berarti budi nan baharago (budi yang berharga), yang mana maksudnya ialah bahwa setiap keputusan diambil lewat musyawarah untuk menemukan kata mufakat. Sifat kepemimpinan ini ialah demokratis atau bajanjang naiak dengan urutan: Rumah tanggo - Paruik - Kaum - Suku - Limbago Adat (dari bawah ke atas). Sistem kepemimpinan ini dicetuskan oleh Dt. Parpatiah nan Sabatang.
Terdapat dua varian dari dua model utama tersebut, yakni Lareh nan Panjang yang sulit diidentifikasi apakah mengikuti salah satu atau kedua model utama pola kepemimpinan tersebut dan Lareh nan Bunta, varian model yang mengakomodasi kedua model utama tersebut. Namun, tetap pada praktiknya keempat model kepemimpinan ini tidak meninggalkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(dikutip dari berbagai sumber)