Mohon tunggu...
Kamiliya Ruvianti
Kamiliya Ruvianti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis ulasan buku, artikel opini, dan cerita pendek.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Entertainer dalam Politik: Kebebasan Demokrasi atau Tendensi Elitisme?

10 Januari 2025   19:30 Diperbarui: 10 Januari 2025   19:20 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entertainer yang beralih profesi ke ranah politik bukan lagi fenomena asing bagi kita. Wajah-wajah yang biasanya kita lihat di acara hiburan, mendadak muncul sebagai calon legislatif, Utusan Khusus Presiden (UKP), dan lain-lain. Transisi ini sering kali diwarnai stigma sebagai upaya untuk mencapai tujuan politik atau bahkan kepentingan pribadi/kelompok. Entertainer atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai ‘pesohor’ berasal dari kata ‘sohor’, menurut KBBI merupakan orang-orang yang termahsyur; ternama; terkenal. Tolok ukur kesuksesan seorang entertainer adalah popularitas mereka. Popularitas itulah yang kemudian menjadi modal mereka untuk mendapat dukungan publik. Demokrasi memang untuk setiap kalangan masyarakat, tapi apakah fenomena ini menandakan kebebasan demokrasi atau malah tendensi elitisme?

Demokrasi dalam Politik Kontemporer

Demokrasi politik kontemporer saat ini terkesan seperti pintu satu arah yang memiliki kecenderungan terbuka terhadap golongan-golongan tertentu, dan masyarakat semakin tergeser perannya sebagai pihak yang memiliki inisiatif mempertahankan demokrasi. 

Masuknya entertainer ke dunia politik merupakan bukti adanya kebebasan demokrasi. Artinya mereka juga memiliki hak yang sama untuk memberikan kontribusi serta dedikasinya demi keberlangsungan dan kemajuan bangsa dan negara. Namun, diangkatnya tokoh-tokoh yang terkenal dengan kontroversinya menyebabkan kepercayaan masyarakat pada pemerintahan yang bersih semakin menurun.

Dilansir dari laman resmi Presiden RI (presidenri.co.id), Presiden Republik Indonesia tahun 2024-2029, Prabowo Subianto, melantik tujuh orang Utusan Khusus Presiden (UKP) yang di antaranya adalah Miftah Maulana Habiburrahman, sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan; serta Raffi Farid Ahmad, sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni. Dua orang tersebut adalah pesohor yang di bidangnya masing-masing. Namun, baru-baru ini mereka terlibat kontroversi yang membuat keraguan masyarakat semakin meningkat, sehingga masyarakat dibuat bertanya-tanya tentang kualifikasi Utusan Khusus Presiden. Miftah Maulana Habiburrahman atau yang kerap disapa Gus Miftah, pada acara sholawatan, terang-terangan menghina dan mengumpat kepada seorang pedagang. Tak sendirian, Raffi Ahmad juga ramai diperbincangkan terkait gelar Doktor Honoris Causa (Dr. HC) yang didapatnya dari UIPM dianggap tidak sah oleh Kemendikbud. Hal itu disebabkan karena universitas tersebut tidak memiliki izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengatakan akan berkomitmen untuk melakukan event rutin yang mendukung generasi muda dan pekerja seni dengan dana pribadi. Dari sana lah kemudian timbul polemik yang mengarah pada kecurigaan masyarakat mengenai adanya tendensi elitisme.

Peran Partai Politik dan Masyarakat

Seperti yang tercantum dalam Pasal 10 dan Pasal 11 BAB V Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Tujuan dan Fungsi Partai Politik, partai politik memiliki tujuan khusus salah satunya adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Selain itu, partai politik memiliki fungsi utama yang salah satunya sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, dari apa yang kita lihat, sepertinya partai politik lupa akan fungsinya untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Selain peran partai politik, masyarakat juga memegang peran penting dalam mempertahankan demokrasi. Beberapa hal yang dapat dilakukan di antaranya:

  1. Mengamati tindakan dan/atau keputusan pemerintah (Monitoring)

  2. Mengedukasi diri dengan banyak membaca buku dan berita

Salah satunya buku yang saya rekomendasikan adalah How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati) oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.

Terlepas dari adanya entertainer kontroversial yang saat ini menjabat, ada  pula entertainer yang berdedikasi tinggi dan mampu menunjukkan kredibilitasnya kepada masyarakat. Tak hanya kesadaran pihak eksternal, tiap-tiap individu sebaiknya berinisiatif mengedukasi diri sehingga paham akan hak dan kewajibannya, serta melakukan monitoring terhadap setiap tindakan pemerintah. Karena jika masyarakat kehilangan minat berdemokrasi, maka kekuasaan elite sudah tak terelakkan. Yang mana hal tersebut juga akan berpengaruh pada segala aspek kehidupan di suatu negara, termasuk ekonomi di dalamnya.

Referensi:

Toloh Pascal Wilmar Yehezkiel, “Politik Hukum Penguatan Partai Politik Untuk Mewujudkan Produk Hukum Yang Demokratis”. JAPHTN-HAN 2, no. 1 (2023): 141-168, https://doi.org/10.55292/japhtnhan.v2i1.60

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun