Mohon tunggu...
Ahmad Kamil
Ahmad Kamil Mohon Tunggu... -

tidur adalah kesukaan saya, karena disana, saya benar-benar ngerasa kalo ada saat-saat saya tidak berbuat apa-apa, tapi saya tetap baik-baik saja

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisis Bonus Demografi sebagai Kesempatan untuk Meneliti dan Memaksimalkan Potensi Indonesia Sebenarnya

10 Oktober 2014   17:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:36 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Maliki, 2010 Bonus demografi bisa diartikan dengan dua definisi sederhana

1.Peningkatan efesiensi penggunaan sumber pendanaan untuk SDM serta mengurangi angka ketergantungan usia muda

2.Peningkatan jumlah angkatan kerja yang diikuti dengan meningkatnya peluang kerja  yang memberikan akumulasi sumber dana investasi

Bonus demografi ini bisa dikaitkan dengan Gross Domestic Product (GDP). Gross Domestic Product (GDP) adalah penghitungan yang digunakan oleh suatu negara sebagai ukuran utama bagi aktivitas perekonomian nasionalnya, tetapi pada dasarnya GDP mengukur seluruh volume produksi dari suatu wilayah (negara) secara geografis. Menurut McEachern (2000:151) pendapatan agregat sama dengan penjumlahan semua pendaptan yang diterima pemilik sumber daya dalam perekonomian (karena sumber dayanya digunakan dalam proses produksi). Sehingga dapat disimpulkan semakin banyak angkatan kerja, maka akan didapatkan GDP yang lebih besar, yang mengakibatkan Negara akan mengurangi tingkat kemiskinan (Yudi, 2009). Secara empiris perubahan factor demografi mempunyai hubungan statistic terhadap pertumbuhan ekonomi (Bloom et al,2001).

Sayangnya menurut Kepala LP3E Kadin Prof. Dr. Didiek J. Rachbini pada 2012 bonus demografi bisa menjadi kesempatan bagus karena konsumsi penduduk meningkat, tetapi jika pemerintah tidak mempunyai program yang tepat, maka akan menjadi boomerang bagi ekonomi Indonesia. Pendidikan yang selama ini diharapkan menjadi solusi, ternyata masih belum menyelesaikan masalah. Terbukti dari hanya 50% Lulusan Universitas yang mempunyai penghasilan tetap (bps, 2013). Data ini diperparah dengan 70 % angkatan kerja yang berkecimpung di sector informal, yang sebagian besar berpendidikan SD (BKBN, 2012).

Kurikulum 2013 yang bertipe sentralistik, belum menjadi solusi yang meyakinkan, sehingga perlu dibuat penelitian tentang kurikulum ini. Di lain pihak, Indonesia akan menghadapi pasar bebas di tahun 2015. Menurut Robert T. Kiyosaki dalam 'Cash Flow Quadrant', produk yang bisa menghasilkan laba yang besar adalah produk berbasis teknologi, karena memiliki kebermanfaatan yang lebih dan sulit ditiru.

Sayangnya lagi, dalam konteks pendidikan dan penelitian, Ibu menteri Armida, 2014 me­nyinggung banyaknya jumlah peneliti yang minus produktivitas. Peneliti di Indonesia lebih banyak dibandingkan negara ASEAN lain, tetapi rasio peneliti dan jumlah penduduk rendah. Jumlah peneliti di Indonesia 21.367 orang tetapi rasio per 1 juta penduduk hanya 90. Sedangkan di Singapura, jumlah peneliti 30.788 orang dengan rasio 6.173. Hal ini mengakibatkan pembangunan ekonomi kompetitif berbasis SDA, SDM bermutu, dan kemampuan Iptek menjadi terhambat.

Sehingga disini dapat disimpulkan 2 hal untuk menghadapi bonus demografi, yaitu pendidikan dan penelitian untuk membuat teknologi yang bisa memudahkan masyarakat dan menjual.

Hanya saja, menyadur kembali, tulisan Muhtar Lubis pada 1973, tentang Manusia Indonesia.

Apa kita mau maju seperti Jepang, Amerika dan negara-negara Eropa Barat, atau Soviet Rusia cina komunis? di negara-negara maju dan kaya di Amerika, dan lainnya banyak orang yang berpikiran waras ingin segera membanting setir dan mengubah tujuan-tujuan hidup manusia dari sekedar mengejar keuntungan dan kebendaan, yang telah membawa dunia ke pinggir jurang habisnya sumber-sumber alam, rusaknya imbangan ekologi, peracunan lingkungan hidup, yang disertai dengan teknologi raksasa, produksi gergasi, dengan mesin, komputer, otomisasi, roboitasi, dan menjatuhkan kedudukan manusia dari tempat sentralnya, hanya menjadi embel-embel dan tukang penekan knop segala rupa mesin dan alat elektronika yang kini menguasai mati-hidup masyarakat-masyarakat berindustri amat maju, yang mengalahkan konsiderasi konsiderasi manusia, dan telah mendaulat hak manusia untuk menentukan nasibnya sendiri demi mempertahankan atau mengembangkan Gross National Product atau Gross Domestic Product mereka, yang menjadi ukuran sebuah masyarakat maju atau terbelakang. Alangkah primitifnya dan alangkah terbelakangnya pikiran serupa ini.

Beliau melanjutkan, “kita mempunyai sumber daya yang berlimpah, tanah yang subur yang dikelilingi oleh lingkaran gunung berapi, laut yang luas, Dan pantai yang terpanjang...”

Sehingga, mengapa kita tidak memulai dari situ saja?

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun