Mohon tunggu...
Kamilatun
Kamilatun Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketaatan Tanpa Tapi, Ketaatan Tanpa Nanti

24 Agustus 2018   13:45 Diperbarui: 24 Agustus 2018   14:05 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selalu saja ada gerimis yang kemudian menderas ketika mendengar atau membaca, atau bahkan teringat kisah keluarga Ibrahim. Ketika Hajar tanpa banyak bertanya diajak oleh Ibrahim pergi ke sebuah tempat yang tidak berpenghuni. Istri mana yang tidak bingung, ketika setibanya disana, tanpa bicara apa-apa kemudian suami tercinta beranjak pergi meninggalkan? Istri mana yang tidak ketakutan ditinggalkan hanya berdua dengan bayinya di tempat yang tidak berpenghuni?

Maka kemudian, yang dilakukannya adalah bertanya, wahai suamiku, hendak kautinggalkan kami disini? Ibrahim berhenti, tapi tak menoleh. Suami mana yang tidak sedih meninggalkan istri yang dicintainya sendiri. Ayah mana yang tidak nestapa dan patah hati meninggalkan bayi yang begitu didambakannya di tanah tandus hanya berdua dengan ibunya? Tapi ini perintah Tuhannya. Dan dia tidak boleh kalah dengan nafsunya sendiri. Tak menoleh adalah pilihan Ibrahim agar tak luluh dan kalah oleh wajah istri dan anaknya. Tak menoleh adalah cara terbaik menahan perasaan agar tak luruh. Allah adalah cinta pertamanya, segala-galanya. Patuh dan taat hanya padaNya.

Hajar masih bertanya lagi, mengejar suami yang berjalan menjauh. Mencengkeram baju suami yang dapat diraihnya, dan bertanya sekali lagi. Ibrahim tetap diam, dan detik itu juga sebuah kesadaran terbit di hatinya. Ibrahim adalah manusia pilihan Allah, yang tak mungkin mengerjakan sesuatu tanpa alasan. Dengan ketegaran seorang istri yang dididik oleh manusia pilihan, Hajar bertanya lagi, apakah ini perintah Tuhanmu? Barulah Ibrahim menjawab, ya. Maka kemudian jawaban Hajar diabadikan Allah dalam kitabNya, "Kalau begitu Ibrahim, Allah tidak akan sia-siakan kami, engkau berangkatlah, jangan kau pikirkan kami, Allah akan menjaga kami dan Allah tidak akan menyia-nyiakan kami, berangkatlah wahai Ibrahim," hibur Hajar kepada Ibrahim. Sungguh ketaatan kepada Allah yang tak pakai kata tapi dan nanti. Sungguh juga ketaatan kepada suami yang landasannya adalah Allah saja.

Episode berikutnya dari kisah keluarga Ibrahim yang selalu membuat hati gerimis dan mata mengabur adalah perintah penyembelihan Ismail. Butuh berkali-kali mimpi yang sama, barulah Ibrahim yakin bahwa benarlah itu adalah wahyu, perintah dari Tuhannya. Hati yang patah, sekali lagi, tidak mengurangi ketaatan Ibrahim pada Allah, Sang cinta pertama.

Bagaimana mungkin seorang ayah yang begitu berharap mendapatkan putra, begitu saja mengiyakan ketika perintah itu datang? Bagaimana mungkin seorang ayah akan tega menyembelih putranya sendiri? Tapi, sejatinya anak adalah milik Tuhannya. Bila Dia tidak memberikan, pastilah tidak akan ada sang putra tersayang. Ujian berat dari Sang cinta pertama, meminta kembali yang Dia punya, lewat cara yang melumpuhkan jiwa dan raga. Sanggupkah?

Ibrahim menegarkan hati, bertanya pada sang buah hati. Bukan karena dia tak mau menaati, tapi ingin tahu bagaimanakah sang anak bereaksi. Dan jawaban Ismail yang fenomenal pun terekam dalam kitabullah, "Nabi Ismail menjawab, "Wahai ayahku ! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar". Dan air mata saya makin tak terbendung. Alangkah benar-benar putra pilihan. Dididik dalam keluarga pilihan, keluarga yang selalu menomersatukan Sang cinta pertama, jawaban Ismail sungguh menggetarkan. Adakah Ibrahim tahu apa yang akan terjadi setelahnya? Apakah Ismail tahu Allah sudah menyiapkan seekor domba untuk menggantikannya? Tidak! Itu jawabannya. Tapi keataan tanpa nanti, tanpa tapi, sudah tertanam kuat dalam dada. Allah pastilah sebaik-baik perencana.

Episode yang mengharu biru, ibunda yang dipamiti, menyatakan keihlasan jika itu memang Sang Maha cinta yang menghendaki. Segala was-was ditepis, segala goda untuk membatalkan pengorbanan dilempar jauh. Entah seperti apa rasanya, yang jelas ketaatan tanpa tapi dan nanti kepada Sang Pemilik hati harus dinikmati.

Alangkah banyak hikmah yang bisa diteladani dari kisah ini. Sungguh kesadaran diri mencambuk berkali-kali. Begitu jauh rasanya dari kata taat tadi. Jangankan untuk mengikhlaskan seorang putra pemberian Sang Maha cinta, mengurbankan waktu saja, kadang masih memerlukan kalkulasi.

#Renungan Idul Adha 1439 H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun