Judul : Kerumunan Terakhir
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Hal : 360
Dari sampul buku saya yakin banyak dari kita dapat menerka isi novel ini. Gambar orang-orang yang berkerumun dengan memegang ponsel masing-masing, mengabadikan apa yang terjadi pada mereka atau sekitar mereka lalu dapat dengan mudah membagikannya pada dunia.
Novel ini menceritakan tentang manusia masa kini yang haus akan pengakuan dan validasi. Sosial media mempermudah orang-orang membagikan aktivitas keseharian dan dengan cepat ditanggapi oleh pengguna lain. Saling menyukai, mengomentari bahkan membagikan postingan satu sama lain menjadi candu yang ingin lagi dan lagi dilakukan. Internet yang bertujuan untuk mempermudah kepentingan sudah sepantasnya digunakan semestinya. Namun novel ini menceritakan sebaliknya, dimana kemudahan mengakses internet tidak digunakan dengan bijak, bahwa kebodohan tidak memandang rentang usia.
Dimulai dari sebuah keluarga yang dikepalai oleh seorang profesor. Masa kecil sang profesor berlatang belakang didikan tradisional yang tak begitu mengenal pendidikan. Ibu profesor sendiri merupakan perempuan yang dipercaya sebagai juru kunci sebuah gunung. Sebagai penduduk kaki gunung, ia menghabiskan waktunya untuk bertani dan kemudian merawat gunung agar tetap asri dan lestari. Hidup di lingkungan yang biasa ternyata tak membuat profesor kecil terpengaruh dengan teman-teman sebayanya, ia sangat tekun dan gigih dalam mempersiapkan masa depan yang gemilang. Melalui pendidikan, profesor kecil berhasil bersekolah tinggi bahkan berkuliah di luar negeri dengan tanpa biaya sendiri, meninggalkan anak dan istrinya di Indonesia.
Berbekal pemikirannya yang cerdas, profesor sangat terbuka pada hal-hal baru. Menginjak usia paruh baya di tahun 2016, telepon genggam semakin pesat berkembang. Dengan teknologi di tangannya itulah, profesor dapat menjangkau dunia yang jauh menjadi seolah tak berjarak. Kemudahan akses itulah yang membuat profesor gelap mata menggunakannya dan membuatnya berselingkuh berkali-kali dan meniduri banyak perempuan tanpa hati. Hal inilah yang membuat istrinya pergi meninggalkan suami serta anak-anaknya. Di sisi lain, profesor menjadi ayah yang sempurna dari banyak sisi. Seorang profesor, terkenal, sukses, kaya, dan hal yang sulit untuk tidak diakui ia merupakan ayah yang sangat ramah dan baik pada anak-anaknya. Ia akan memberikan apapun demi anaknya bahagia.
Jayanegara, putra sulung profesor tidak menyukai ayahnya yang membiarkan ibunya hilang tanpa kabar. Ia membenci ayahnya meski masih menggunakan seluruh fasilitas yang diberikan kepadanya. Seperti pedang yang digunakan untuk membunuh tuannya sendiri, Jayanegara mengakses internet untuk menjatuhkan nama ayahnya di hadapan masyarakat, bahwa orang yang mereka kagumi tak lebih dari penghianat dan pemain perempuan. Berbekal fasilitas internet dari sang ayah, Jayanegara bertekad untuk membalaskan dendam ibunya.
Namun seperti kata pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitulah Jayanegara bertumbuh, meski sebenarnya ia tak bisa menyalahkan ayahnya atas jalan hidup yang dipilihnya. Lagi-lagi karena kemudahan akses, Jayanegara bisa berselancar kapan saja dan untuk apa saja. Ia mengakses gambar dewasa yang membuat hormonnya berkembang lebih cepat dari biasanya. Singkat cerita, ia terjerumus dunia gelap, segelap jalan yang mengarahkannya ke lorong-lorong kecil di gang sempit kota tiap kali ingin bercinta.