Lanjut usia merupakan tahap terakhir dalam perkembangan manusia. Saat ini jumlah orang lanjut usia di dunia diperkirakan lebih dari 500 juta dengan rata-rata berusia 60 tahun (Ilmi dkk., 2018). Sementara itu, Â populasi lansia di Indonesia mencapai angka 21,7 juta (10%) orang pada tahun 2020 Â dan akan diperkirakan meningkat pada tahun 2025 menjadi 33,7 juta orang (11,8%) (Setyarini dkk., 2022). Meningkatnya jumlah lansia ini disebabkan karena adanya penurunan angka kelahiran penduduk, kurangnya kualitas perbaikan kesehatan masyarakat, status penularan penyakit, dan peningkatan usia harapan hidup seseorang (Hisbullah, 2017). Akibatnya, seiring dengan peningkatan jumlah lansia maka akan cenderung menimbulkan masalah baru baik fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. Â
Perubahan fisik lansia yang terjadi akibat penuaan akan meningkatkan timbulnya permasalahan psikologis yang berdampak pada menurunnya kesehatan mental (Setyarini dkk., 2022). Permasalahan psikologis ini disebabkan karena perubahan kehidupan sosial ekonomi, seperti pensiun dari pekerjaan dan mengurangnya kekuatan fisik akibat menderita penyakit (Gati dkk., 2016). Perubahan-perubahan inilah yang membuat lansia rentang menderita kecemasan dan stres. Beberapa faktor utama yang meningkatkan resiko stres pada lansia diantaranya seperti menurunnya harga diri, penyakit kronis yang diderita, kehilangan orang tersayang baik keluarga maupun teman dekat, pengurangan aktivitas fisik, dan kehilangan pekerjaan. Berdasarkan data dari WHO bahwa persentase lansia yang menderita stres berat sekitar 24,5%, 24,5% menderita stress sangat berat, dan 32,1% mengalami depresi sedang (Setyarini dkk., 2022).
Pada tahap ini, lansia memasuki fase integritas dan keputusasaan, dimana lansia akan merenungkan pencapaian dan pengalaman yang pernah dia lakukan semasa hidupnya (Erikson dalam Papalia dkk., 2009). Bagi lansia yang dapat menghadapi perubahan, renungan diri, dan merasa puas dengan pencapaiannya di masa lalu maka tahap integritas akan dicapai, sedangkan jika semasa hidupnya tidak berhasil mencapai kepuasan maka ia akan merasakan keputusasaan. Selain itu, fase integritas juga dapat dicapai jika lansia memiliki pemahaman terkait makna hidupnya. Kebijaksanaan juga berkembang pada fase lansia dan menjadi kepribadian utama yang khas (Gillibrand dkk., 2016). Hal ini terjadi ketika lansia mampu menerima ketidaksempurnaan hidupnya tanpa rasa penyesalan. Aspek lainnya yang dirasakan ketika mencapai tahap integritas adalah memiliki perasaan cinta dan kasih sayang serta rasa religiusitas yang dapat mengurangi kecemasan akan kematian. Akibatnya, akan berujung pada meningkatnya kualitas kesehatan mental lansia. Lantas bagaimana peran religiusitas ini dalam mengurangi stres pada lansia?
Lansia yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi tidak akan rentan terkena stres akibat berbagai permasalahan hidup yang dialami. Religiusitas yang tinggi biasanya terjadi ketika fase lansia, dimana mereka akan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk fokus beribadah (Ningrum & Suhariyanti, 2016). Hal ini terjadi karena di masa tua akan muncul keinginan untuk mendapat dukungan sosial dan pemahaman makna hidup, sehingga akan meningkatkan partisipasi dalam aktivitas religius (Kosalina, 2018). Pendapat ini didukung oleh penelitian Jalanudin (2016), bahwa terdapat hubungan yang kuat antara religiusitas dengan kesejahteraan, dimana aktivitas religius akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Dalam agama islam, aktivitas religius yang dilakukan yaitu berupa sholat, puasa, zakat, doa, dan zikir dan dapat meningkatkan kesehatan pada lansia (Azmi dkk., 2021). Fungsi dari ibadah yang dilakukan adalah sebagai penyelamat, membimbing ke jalan yang benar, ketenangan hati, dan sebagai kontrol diri agar membentuk kepribadian yang lebih baik (Azhari, 2018). Selain penuaan, faktor lain yang menjadi penyebab lansia menjadi semakin religius adalah pendidikan, tekanan sosial, pengalaman masa lalu, dan perubahan pola pikir. Perubahan kehidupan sosial lansia seperti pensiun dan kehilangan orang tersayang dapat membuat lansia rentan terkena stres dan berujung menderita penyakit fisik. Lansia yang mengalami stres dapat dilihat dari perubahan emosi yang cepat, labil, sensitif, mudah tersinggung, perasaan hampa dan tidak berguna, merasa kehilangan, dan tidak bahagia (Kaunang dkk., 2019).
Menurut penelitian Sutioningsih dkk. (2019), bahwa aktivitas religius agama islam seperti zikir dapat mengurangi tingkat stres yang dialami lansia. Ibadah lain seperti sholat dengan ketentuan syariat islam merupakan teknik rileksasi yang berfungsi menghambat respon stres pada saraf simpatik sehingga menimbulkan perasaan tenang (Suratun, 2022). Selain itu, gerakan sholat yang dilakukan dengan benar dapat membuat tubuh menjadi rileks dan menciptakan ketentraman batin. Kasus nyata terdapat pada penelitian Suratun (2022), dimana sholat memiliki pengaruh terhadap stres pada pasien diabetes. Hal ini terjadi karena ibadah yang dilakukan dapat mengurangi emosi negatif yang menimbulkan stres dan perasaan gelisah.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas religius dapat mengurangi tingkat stres pada lansia. Lansia yang sering melakukan amal ibadah cenderung mengalami stres ringan, sedangkan lansia yang jarang beribadah akan meningkatkan resiko stres berat. Oleh karena itu, perlu dilakukan religius coping atau mendekatkan diri kepada Tuhan agar terhindar dari rasa gelisah, cemas, dan putus asa yang dapat menimbulkan stres.
REFERENSI:
Azhari, N. (2018). Hubungan Religiusitas dengan Kenakalan Siswa Kelas XI di MAN Sleman Yogyakarta.
Azmi, R., Emilyani, D., Jafar, S.R., & Sumartini, N.P., (2021). Hubungan religiusitas dengan kejadian depresi pada lansia di balai sosial lanjut usia mandalika. Bima Nursing Journal, 2(2): 119-126. http://jkp.poltekkes mataram.ac.id/index.php/bnj/index