Mohon tunggu...
Kamila Glenisa
Kamila Glenisa Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Masih Freeport dan Indonesia

30 Januari 2018   18:45 Diperbarui: 31 Januari 2018   07:05 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PT. Freeport Indonesia (PTFI) telah menguasai pertambangan mineral di Papua lebih dari setengah abad. Selama itu pula, kontroversi pembagian saham dan pertanggungjawaban Freeport terhadap kontrak kerjanya menjadi permasalahan yang seakan tidak berujung bagi Indonesia.

Eksistensi Freeport/ PTFI sendiri di Indonesia telah menyulut berbagai permasalahan. Papua yang menjadi lahan usaha bagi PT. Freeport sendiri kerap dikecewakan karena pengolahan sumber daya alamnya yang tidak menguntungkan bagi masyarakatnya sendiri. Tidak hanya itu, Freeport telah melanggar kontrak karya terakhirnya yang disepakatinya tahun 1991 silam yang hingga kini terus dihindari pihak Freeport dengan meminta perpanjangan kontrak.

Freeport juga termasuk melakukan pelanggaran terhadap UU Agraria , UU Lingkungan Hidup, dan UU Minerba. Banyak laporan yang telah diajukan terhadap dugaan pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan PTFI. Salah satunya adalah kasus pencemaran terhadap 6 sungai di Papua yaitu  Sungai Aghawagon,  Sungai Otomona, Sungai Minajerwi, Sungai Aimoe, dan Sungai Tipuka.

Selain itu, rencana pembangunan smelter Freeport tidak terealisasikan hingga kini. Dengan tidak adanya smelter yang dibangun untuk memurnikan hasil tambang, Indonesia akan terus dirugikan jika mineral-mineral yang dibawa untuk diolah di luar Indonesia sebenarnya lebih dari yang menjadi hak PT.Freeport Indonesia. Selain itu, dengan pembangunan smelter yang rencananya akan didirikan di Papua, dapat menyelesaikan kasus ketimpangan dan ketidakadilan terhadap masih tertinggalnya perekonomian Papua dengan membuka jalur investasi di Papua.  

Namun, tetap saja belum ada konfirmasi dari pihak Freeport mengenai pembangunan smelter ini meskipun sudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 10/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa pengelolaan dan/atau pemurnian di dalam negeri atas mineral merupakan materi muatan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009. Hal ini tentu saja melanggar konsepsi negara kita sebagai negara hukum yang berpegang pada prinsip rule of law. Di mana seharusnya hukum harus memerintah sebuah negara dan bukan keputusan pejabat-pejabat secara individual, namun tampaknya banyak tangan-tangan yang membelokkan UU yang sudah jelas dibuat sehingga terus memperbolehkan Freeport mengolah mineral hasil tambang di luar negeri. 

Sejak awal 2017, Pemerintah mulai mempertimbangkan masalah ini dengan lebih serius dan memperjuangkan divestasi saham yang seharusnya mulai dilepas Freeport Indonesia ke angka 51%, namun saat ini masih stagnan di 9,8%. Sudah 50 tahun lamanya Indonesia jauh dari kata mendekati realisasi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengandung prinsip 'penguasaan oleh negara' dan prinsip 'sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat'. Jadi akankah SDA kita masih terus diperuntukan 'sebesar-besarnya untuk kemakmuran' Freeport? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun