Mohon tunggu...
Bintang Eko
Bintang Eko Mohon Tunggu... Penulis - Keterangan Profil

Nyontek artikel milik saya? *sedih *kecewa *berdo'a agar..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bulan Lalu

21 Juni 2012   07:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:42 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini lanjutan dari tulisan nggak mutu sebelumnya [http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/05/13/dua-pekan-lalu/]. Jangan harap tulisan ini menarik untuk dibaca, saya ingatkan anda akan mengalami kebingungan akut,, pokoknya ra gadeg lah..

Setelah ganti kostum saya melanjutkan perjalanan ke arah kampung halaman tante Indri Permatasari dengan naik bus mini sekelas kopata, kobutri, aspada, atau kopaja di Jakarta. Hebat banget bus yang saya tumpangi, ada tivi yang muter DVD dangdut,,, keren nggak tuh padahal cuma bayar 2.000 perak. Saya sempat ambil gambar dalam bus (biar tidak dikatakan hoax) tapi karena busnya sering goyang, gambarnya juga goyang.

Saya skip aja ceritanya biar tidak panjang. Saat perut mulai teriak, seperti biasa cari makanan yang sepengetahuan saya hanya ada di pantura dan beberapa daerah selatan pantura (jenenge yo opo). Makanan itu adalah Lontong Tahu Gimbal (LTG), sebenarnya saya ngasal memberi nama makanan ini.. karena saya tidak baca tulisan di depan warung ;). Biasanya sih dikenal dengan Lontong Campur.

LTG atau lengkapnya LTGU (Lontong Tahu Gimbal Urang) kira-kira bisa dibayangkan atau tidak ya? Kalau saya sih bisa. Dalam sepiring LTGU berisikan lontong, tahu, gimbang urang, ditambah kubis, tauge, dan seledri. Bumbunya cuma sambal kacang plus bawang yang diguyur dengan air putih. Biasanya ditambah kecap dan paling akhir ditaburi brambang goreng (silahken di Indonesiaken sendiri), tapi seharusnya yang ditabur terakhir adalah bawang goreng.

13402618841891260433
13402618841891260433
Satu porsi hanya 4.000 perak, harga yang murah dibandingkan jika kita membelinya di pusat kota yang harganya sampai Rp. 10.000. Sepiring Rp. 4.000 itu sudah membuat perut kenyang lho,, percaya nggak?

Nah di lain hari saya dibelikan kerabat saya nasi teri angkringan yang harganya Rp. 1.000. Tapi... porsinya Rp. 1.500 kalau di Semarang!!!!!!!!!!! Kerabat saya sendiri heran yang jual nasi ini ambil laba atau tidak, kok harganya murah banget. Eh salah ding.. harganya Rp. 800 karena beli di pembuat nasi, jadi nasi bungkus itu kemudian dititipkan di para penjual angkringan yang dijual dengan harga Rp. 1.000.

13402620011293209747
13402620011293209747
Kalau dalam pikiran saya, pembuat nasi itu tidak untung, tapi pada kenyataannya sudah beberapa tahun usaha tersebut berjalan,, nah saya bingung deh.

Mungkin anda bingung membaca postingan saya ini. Sebaiknya bertanyalah sebelum anda tersesat, ingatlah pepatah "Malu bertanya sesat di jalan." Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun