[caption caption="Caketum Golkar, Bapak Airlangga Hartarto. Sumber: Kompas.com"][/caption]
Munaslub Golkar diharapkan sebagai momen rekonsiliasi. Namun semangat islah terusik oleh intrik dan friksi kurang sehat yang dihembuskan oleh kelompok Ade Komarudin (Akom) dengan kelompok Setya Novanto (Setnov).
2 tokoh sentral partai sekaligus 2 petinggi Senayan. 2 tokoh yang menyiratkan suasana perang dingin dalam perebutan kekuasaan. 2 tokoh yang tukar-tukaran posisi.
Perang urat syaraf dipertontonkan dengan cukup vulgar di tengah kontestasi menuju Munas rekonsiliasi. Seakan musuh bebuyutan saja, padahal masih satu kapal.
Jika budaya semacam ini diteruskan, ya, kapal yang dilayari bersama tersebut bisa karam kapan saja. Seakan tak ada tujuan bersama yang harus dihadapi. Dan cita-cita untuk Satu Golkar demi Indonesia berpotensi gagal.
Kondisi inilah yang membuat kejenuhan kader-kader daerah semakin menggunung. Mereka sudah muak dengan sikap membangun kelompok dalam kelompok. 2 tahun ini adalah waktu yang begitu membingungkan dalam internal partai.Â
Apa yang bisa disimak lagi tentang Akom, selain ribut-ribut dan tuding-tudingan dari Bamsoet, kolega kepercayaannya. Akom sibuk klarifikasi atas masalah-masalah dirinya yang diapungkan sejumlah pihak ke hadapan publik.
Yang paling tidak enak di telinga itu kan gaya klarifikasi Bamsoet yang selalu menggiring isu bahwa persoalan-persoalan Akom yang mengoar ke publik adalah upaya pihak-pihak lain untuk menjatuhkan citra Akom. Serangan Caketum lain lah, black campaign lah, bla..bla..bla..
Padahal, kalau Bamsoet sebagai juru bicara adalah orang yang bijak, dan Akom sebagai calon Ketum adalah orang yang bersih, ya tinggal dibuktikan saja ke hadapan publik. Jangan malah membalas tudingan dengan  tudingan. Publik kan bisa menilai, jangan selamanya berpikir kalau masyarakat itu bodoh.
Imbas nyata dari perseteruan yang ada padahal tengah dirasakan segenap penghuni partai beringin. Golkar terlempar ke sudut dari riuh pesta demokrasi Pilkada 2015. Sebuah hantaman telak dari kenyataan. Persaingan merebut hati rakyat tak bisa dilakoni partai yang mengandung perseteruan di dalam tubuhnya.
Maka tidak heran lalu kebanyakan kader memilih tokoh yang lebih santun dan punya itikad murni. Agar nanti tak ada lagi pertunjukan suara sumbang di tengah paduan seruan rekonsiliasi.