Oleh : Nur Syam
Saminisme sebagai sikap agamis memang tidak banyak memberikan peluang kemungkinan pertumbuhan dalam arti kelembagaannya, yaitu ajaran, pengikut dan organisasi. Seperti agama alam lainnya atau semacam agama kesuburan, maka kemungkinan untuk mengembangkan sistem ajaran dan sistem organisasi yang terkait serta pemeliharaan kesetiaan umat tidak dapat dijalankan secara berkelanjutan. Samin merupakan sebutan yang diberikan oleh mereka sendiri untuk menandai adat-istiadat dan tindakan yang mereka nyatakan sebagai berbeda dengan masyarakat di sekitarnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tradisi, seperti upacara perkawinan, yang mereka sebut sebagai adang akeh. Pada masa lalu, masyarakat Samin dapat diidentifikasi sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elite penguasa dan kemudian membentuk persekutuan untuk melawan secara damai dengan menggunakan tradisi rakyat jelata. Tradisi rakyat jelata yang berbeda dengan tradisi besar kebudayaan Jawa tersebut, di dalam tulisan ini dinyatakn sebagai tradisi kecil. Penggunaan bahasa Jawa Ngoko, pemaknaan konsep-konsep agama yang berbeda dengan penafsiran pada umumnya dan juga penolakannya terhadap pejabat agama yang tidak diperlukannya merupakan suatu bentuk protes yang menandai kehadiran tradisi kecil tersebut. Seirama dengan perkembangan zaman, tradisi kecil Saminisme tersebut secara lambat tetapi pasti bergerak ke tradisi besar, yang sekarang disebut dengan Tradisi Islam Jawa, yaitu Islam yang dalam tataran pemahaman, sikap dan tindakan penganutnya berbeda dengan Islam di tempat lain, atau dengan kata lain, Islam yang bernuansa lokal. Komunitas Samin Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti dan mempertahankan ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda, yakni sekitar tahun 1890. Pada masa tersebut, masyarakat merasakan tekanan-tekanan dari pihak penjajah sebagai suatu siksaan kehidupan. Kemudian, mereka mencari cara untuk membebaskan diri dari tekanan tersebut. Ajaran Samin memberikan angin baru bagi masyarakat untuk keluar dari siksaan dan tekanan penjajah. Pada mulanya, komunitas Samin hanyalah merupakan perkumpulan (sami-sami) orang yang merasa senasib-seperjuangan serta sama rata dan sama rasa. Kemudian, perkumpulan ini berkembang luas, di mana pengikutnya tersebar di sekitar Blora, Pati, Kudus, Rembang dan perbatasan wilayah barat Bojonegoro. Daerah kelompok (komunitas) Samin sangat lokal, sehingga daerah satu dengan lainnya tampak ada perbedaan dalam pemahaman aturan-aturan yang menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Di desanya, orang Samin merupakan sekelompok orang yang tidak suka bergaul dengan yang lainnya kecuali dengan orang Samin sendiri. Mereka memiliki bahasa sendiri untuk berkomuniaksi, tata cara kehidupan sendiri dan bahkan tradisi sendiri. Jika ingin berkomunikasi dengan orang luar, mereka memanfaatkan jasa kepala desa sebagai perantara. Dalam rangka pelestarian ajaran Samin sebagai pedoman tingkah laku, maka dilakukanlah pewarisan nilai-nilai (inkulturasi) pada ank-anak kecil, bahkan kepada orang dewasa. Namun demikian, tradisi tersebut semakin luntur disebabkan oleh faktor internal yang berupa ketiadaan sarana pelestarian seperti ketiadaan teks-teks ajaran Samin, semakin melemahnya proses pengorganisasian kelompok dan ketiadaan tokoh kharismatik yang dapat menjaga wibawa Saminisme, disamping penetrasi faktor luar seperti semakin intensifnya penyiaran dakwah, bahkan melalui orang Samin sendiri. Strategi Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro, misalnya, dengan membiayai kelanjutan pendidikan anak Samin yang cerdas (Mohamad Miran) di pesantreen Pabelan, Jawa Tengah, ternyata cukup jitu. Dari situ kemudian berdirilah musholla Al-Huda yang menjadi sentra kegiatan keislaman. Kehadiran Islam yang demikian itu, tentu saja menggusarkan hati orang-orang tua yang masih setia dengan ajaran Samin. Memang, masih terdapat generasi tua yang sangat menghormati ajaran Samin yang dipelopori oleh Hardjokardi, seorang penerus keturunan Samin Surosentiko. Anehnya, meskipun mereka menolak terhadap kehadiran ajaran Islam, akan tetapi mereka tetap terlibat dalam proses pembangunan musholla dan bahkan membiarkan anak-anak mereka untuk belajar agama Islam. Dalam bidang pergaulan, mereka juga telah berubah. Dalam kesehariannya, mereka telah menggunakan bahasa pergaulan yang berbeda dengan bahasa ngoko (bahasa Jawa kasar) yang menandai bahasa rakyat jelata. Mereka juga sudah melakukan perkawinan di Kantor Urusan Agama (KUA), yang dahulunya dianggap tidak penting. Demikian pula penolakannya terhadap pembayaran pajak kepada negara juga sudah berubah. Jadi, penolakan terhadap pemuka agama dan negara telah mengalami perubahan-perubahan penting. Gerakan Samin: Perlawanan Terhadap Pemuka Agama dan Negara Gerakan Samin sebenarnya ialah gerakan perlawanan terhadap pemerintah dan agama. Benda dan Castle dalam bukunya The Samin Movement yang dikutip oleh James C. Scott, menyatakan bahwa Gerakan Samin yang muncul di daerah Rembang merupakan sekte yang menolak Islam, negara dan hirarki sosial itu sendiri. Mereka tidak mau mengundang pejabat-pejabat agama Islam untuk meresmikan perkawinan atau upacara-upacara penguburan di kalangan mereka yang sering disertai dengan pungutan-pungutan, mereka tidak mau membayar pajak (meskipun mereka mendapat hadiah) dan mereka membuang segala tata cara dan sopan santun yang berdasarkan perbedaan status. Sebagai gantinya, mereka menggunakan bahasa Jawa kasar (ngoko) dan memanggil satu sama lainnya dengan sebutan sedulur. Dalam pertentangannya dengan negara kolonial yang mau mengatur segala-galanya, orang Samin mengambil unsur-unsur yang terdapat dalam kebudayaan rakyat jelata untuk membentuk suatu agama yang terpadu dengan peraturan-peraturan sosialnya, yang secara sadar menolak nilai-nilai elite dan hak-hak mereka atas masyarakat petani. Dengan demikian, yang menjadi daya tarik sekte, seperti halnya Samin, ialah sikap yang berupa ketidakadilan agraris, negara dan pemerintah yang secara resmi memungut uang. Menyusul penolakan Gerakan Samin terhadap hal-hal di atas dan diikuti dengan penolakannya terhadap keyakinan-keyakinan agama, mereka juga menciptakan suatu tradisi keyakinan yang sangat berbeda dengan keyakinan agama lainnya. Bahkan kemudian, mereka menafsirkan ajaran Islam dalam konteks kebahasaan mereka sendiri. Yang terjadi kemudian ialah penghujatan terhadap ajaran Islam. Mereka menolak kebenaran Allah, sebagai Tuhan orang Islam yang dianggapnya sebagai rekayasa manusia atau timbul dari pemikiran manusia. Mereka kemudian mengganti konsep Allah tersebut dengan simbol orang tua mereka sendiri (Mak-Yung). James C. Scott, menyimpulkan bahwa tidak mengherankan jika di kemudian hari pusat kaum Samin dengan mudah dipengaruhi oleh partai komunis, mengingat praktek-prektek keyakinannya begitu banyak persamaannya dengan partai itu. Dalam hal bertingkah laku, mereka menekankan pada dua konsep: kejujuran dan kebenaran. Untuk melakukan keduanya, mereka memiliki ajaran yang disebut Pandom Urip, yaitu ojo nganti srei, dengki, dahwen, open, kemeren, panasten, rio sapodo-podo, mbedak, nyolong playu, kutil jumput, nemok wae emoh, (sikap sombong, iri hati, bertengkar, membuat marah terhadap orang lain, menginginkan hak milik orang lain, bersifat cemburu, bermain judi dan mengambil barang orang lain yang tercecer di jalan). Kontrol sosial diberlakukan bagi komunitas ini untuk menjaga ketertiban sosial. Untuk itu, diberlakukan pengawasan yang berupa hukuman batin, yakni orang yang melakukan penyelewengan terhadap kaidah sosialnya akan diperolok-olok oleh penganut Samin lainnya dan kemudian dipanggil oleh sesepuh Samin. Jadi, peran sesepuh Samin sangat besar dalam pengawasan tingkah laku sosial komunitasnya. Oleh karena itu, jika kharisma sesepuh Samin merosot, maka peran kontrol sosialnya pun akan berkurang dan memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran. D. Pergeseran dari Tradisi Kecil ke Tradisi Besar Teori tradisi kecil dan tradisi besar diformulasikan oleh Robert Redfield dalam tulisannya Peasant Society and Culture. Kemudian, Scott menekankan bahwa tujuan tipologi itu ialah untuk membedakan kepercayaan dan praktek-praktek strata rakyat pada peradaban agraris dari kaum elitenya. Tradisi kecil merupakan pola khas kepercayaan dan perilaku yang dihargai oleh kaum petani dari masyarakat agraris, sedangkan tradisi besar ialah pola yang sesuai dengan kaum elite dari masyarakat tersebut. Jika di dalam tulisannya, Redfield lebih memfokuskan kajiannya pada agama, upacara dan mitos, di mana ketiganya dapat membedakan mana yang dianggap sebagai bertradisi kecil dan mana yang bertadisi besar, maka di dalam tulisan ini yang dianggap sebagai bertradisi kecil ialah komunitas Samin dengan segala kehidupan agrarisnya, dan yang betradisi besar adalah Islam dan komunitas Jawa yang berada di luar lingkungannya. Konsekuensinya, perubahan yang terlihat pun juga menyangkut agama dan upacara ritualnya disamping pola kehidupan lainnya seperti interaksi dengan dunia luar dan perilaku sosial lainnya. Dengan demikian, terdapat perluasan konsep tradisi kecil dan besar yang tidak hanya beraksentuasi pada agama, ritual dan mitos, akan tetapi lebih luas, mencakup tampilan perilaku sosial lainnya. Memang, di dunia tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Perubahan meruapakan keniscayaan bagi kehidupan manusia. Perubahan dapat terjadi, baik karena faktor luar maupun faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Seirama dengan perubahan yang terus terjadi, masyarakat Samin ternyata juga tak dapat bertahan untuk mengisolasi diri sedemikian kuat, terutama dalam menghadapi penetrasi ajaran Islam yang terus dikumandangkan. Secara penetratif, ajaran Islam telah membawa perubahan dalam sistem nilai, pola tingkah laku dan aturan-aturan di kalangan komunitas Samin. Perubahan tradisi pada suatu komunitas dapat dilihat dari perspektrif perubahan kebudayaan. Secara teoritis, perubahan kebudayaan mencakup lima hal pokok, yakni: Pertama, perubahan sistem nilai yang prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan proses integrasi ke disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi; Kedua, perubahan sistem makna dan sistem pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu kerangka makna (kerangka pengetahuan), penolakan dan penerimaan makna baru dengan proses orientasi ke disorientasi untuk selanjutnya menuju reorientasi sistem kognitifnya; Ketiga, perubahan sistem tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku, penolakan dan penerimaan tingkah laku baru; Keempat, perubahan sistem interaksi, di mana akan muncul gerak sosialisasi melalui disosialisasi menuju resosialisasi; Kelima, perubahan sistem kelembagaan/pemantapan interaksi, yakni pergeseran dari tahapan organisasi ke disorganisasi untuk selanjutnya menuju reorganisasi. Pandangan hidup orang Samin tentunya tidak dapat dilepaskan dari tradisi besar kebudayaan Jawa yang melingkupinya, yaitu tiga konsep dasar dalam pola hidup rukun, harmoni dan selamet. Komunitas Samin mengutamakan kerukunan dalam kehidupan berkelompok dengan sesamanya. Dalam penerapan keselarasan hidup, mereka mementingkan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos serta keselarasan antara manusia dan manusia. Selamet artinya bahwa mereka bertujuan hidup untuk mencari keselamatan. Ajaran Pandom Urip adalah contoh bagaimana keinginan orang Samin untuk menjaga kerukunan, harmoni dan selamet tersebut. Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan di dalam struktur sosial di mana mereka hidup. Ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka. Penerimaan nilai Saminisme di kalangan mereka dahulu disebabkan adanya represi kelompok lain yang dominan. Dalam proses selanjutnya, tokoh Samin yang representatif juga tidak dijumpai lagi, sehingga komunitas Samin sudah tidak lagi sesolid masa lalu. Akibatnya, peran kontrol sosial Saminisme juga menjadi melemah. Jadi, unsur-unsur dasar Saminisme telah tenggelam di dalam kompleksitas budaya sekitarnya. Generasi berikutnya lambat laun menganggap tradisi Samin yang dijiwai Saminisme tidak lagi dapat dipergunakan untuk menjawab tantangan nilai-nilai baru yang lebih relevan dan rasional. Nilai-nilai Saminisme telah kehilangan elan vitalnya. Ditinjau dari kerangka makna, kerangka pengetahuan tentang Saminisme telah semakin berkurang. Ketiadaan media yang berupa teks-teks ajaran Samin yang dapat menjadi perantara generasi masa lalu dan sekarang menjadi faktor semakin kaburnya ajaran Samin bagi penganutnya. Akibatnya, ajaran Samin tak lagi menjadi kerangka referensi makna. Melalui proses disorientasi tersebut, lahirlah pengetahuan baru yang bersumber dari ajaran Islam yang disebarkan oleh kalangan mereka sendiri, sehingga menyebabkan tumbuhnya pola bagi pengetahuan baru atau reorientasi makna. Ditinjau dari tingkah laku, perubahan tradisi tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa mereka terutama generasi muda telah berlaku berbeda dengan generasi tuanya. Saminisme sudah tidak lagi menjadi pola bagi tindakan (pattern from behavior). Hal ini terjadi akibat adanya interaksi dengan dunia luar yang menggunakan kerangka dan pedoman tindakan yang lebih relevan. Kehadiran pendidikan formal dan nonformal maupun media massa di kalangan mereka dengan menawarkan pola baru kehidupan menjadikan mereka semakin terbuka dalam menerima berbagai hal. Dilihat dari perspektif kelembagaan, tampaknya gerakan Samin telah kehilangan orientasi tujuannya. Jika pada masa lalu gerakan ini bersifat kerakyatan, yakni memperjuangkan ketidakadilan, maka sekarang telah kehilangan relevansi perjuangan dalam menghadapi tuntutan perubahan. Implikasi Berdasarkan atas uraian di atas, kiranya, kajian tentang kontribusi faktor-faktor eksternal terhadap perubahan tradisi nyamin masih relevan untuk dilakukan. Demikian pula halnya dengan kajian tentang faktor internal yang memang berfungsi dominan bagi perubahan tradisi. Masih ada banyak hal yang belum diungkap. Wallahu A’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya