Oleh Thomas Koten Paradoks, itulah judul yang diberikan terhadap kecenderungan kekinian dalam kehidupan keberagamaan. Dalam dunia filsafat, manusia selalu dilihat sebagai makhluk paradoksal, di mana nilai-nilai hidup terletak dalam kesatuan kedua hal yang berlawanan. Posisi kedua nilai itu seperti dikatakan AG van Melsen, "on the edge of contradiction" . Sebagian dari manusia memaknai hidup dan memberi judul paradoks kemudian kecewa, tetapi sebagian lagi malah berkembang justru karena paradoks itu. Apa yang bisa dilihat dari fenomena paradoks dalam kehidupan keberagamaan di negeri yang kerap disebut sebagai negeri orang-orang beragama ini? Kehidupan keberagamaan masyarakat bangsa ini, memang tampak cukup bergairah. Tempat-tempat ibadah yang indah dan megah dibangun di mana- mana. Pengajian dan perayaan hari-hari besar agama tampak meriah, bahkan semakin gemerlap, kuliah subuh di televisi dan radio ditayangkan setiap hari. Tetapi, di balik itu, kepedihan ternyata terus menyergap wajah bangsa ini lantaran toleransi antara agama dalam hal pembangunan rumah-rumah ibadah masih terasa rendah. Bahkan, di sana-sini masih mencuatkan kecurigaan antarkelompok agama, sehingga kadang-kadang orang merasa belum tinggal secara nyaman bagai di rumah sendiri. Di samping itu, di tataran elite terdapat fenomena lain yang terasa sulit dipahami dari perspektif apa pun, mengingat lingkaran kekuasaan dihuni cukup banyak "pendosa politik" yang "haus harta" dan "perselingkuhan" terhadap nilai-nilai moral yang justru di kalangan publik dikenal agamis. Secara keseluruhan, negeri ini pun masih menempati posisi teratas dalam peringkat korupsi. Maka, yang kita lihat, mencuatlah sebuah fenomena pembusukan moral bangsa yang pada dasarnya merupakan wujud sebuah paradoks keberagamaan. Dengan demikian, lahirlah pertanyaan, bagaimana kita bisa menarik korelasi positif antara tingkat kesalehan seseorang dengan perbuatan dosa yang dilakukan? Apa yang salah dengan kehidupan keberagamaan itu sendiri? Ritualistik Ada fenomena kehidupan keberagamaan yang amat rancak yang dapat dikedepankan di sini, yaitu kehidupan keberagamaan kaum yang terperangkap dalam ritualisme keberagamaan belaka. Yang muncul adalah keberagamaan yang ritualistik, kurang memiliki roh dan semangat transformatif. Yang dalam kehidupan sehari-hari dijumpai orang beragama mengaku merasa sudah cukup saleh lantaran semua ritual keagamaan telah ditunaikan. Ibadah dan puasa sudah dijalani dengan sukses. Derma dan atau sakat dilakukan dengan ikhlas. Tetapi, ternyata bahwa kepatuhan seseorang dalam melakukan ibadah ritual dan aksi-aksi sosial keagamaan tidak pernah berdampak langsung terhadap peningkatan keimanan seseorang yang disertai pelaksana nilai-nilai moral yang terkandung dalam pesan ibadah itu sendiri. Jika dikerling lebih saksama, ternyata di situlah letak persoalan, di mana di satu pihak nilai-nilai luhur agama tidak ditransformasikan ke dalam tindakan konkret, tetapi di lain pihak, perilaku sosial yang dilakoni seperti aksi filantropi (kedermaan) memberi bantuan dan pemberdayaan sangat jauh dari tujuan-tujuan luhur agama. Nilai-nilai ilahi yang digariskan agama di samping tidak diimplementasikan, dibumikan atau ditransformasikan dalam hidup sehari-hari, juga kerap dijadikan aksesori belaka. Ritus keagamaan hanya dijadikan sebatas sin laundering, yang dianggap akan mencuci dosa-dosa yang diperbuat. Agama dibangun dan dijalani untuk tujuan "pencucian diri" dan "pengampunan dosa". Diperuntukkan bagi kemaslahatan diri sendiri agar terbebas dari dosa dan "cacat moral". Sebagai contoh, seorang politikus yang berperilaku KKN dan membohongi rakyat beranggapan, dengan menjalankan syariat agama, ia akan terbebas dari dosa. Seorang koruptor kelas kakap, merasa dosanya berkurang setelah harta hasil korupsinya dibayarkan zakat atau didermakan di gereja. Seorang birokrat berasumsi bisa diampuni dosa-dosanya setelah aktif ikut beribadah di gereja, sukses berpuasa, terus-menerus salat malam, naik haji, dan rajin menyumbangkan hasil-hasil korupsinya ke lembaga- lembaga sosial. Artinya, tindakan sosial mereka dilakukan sebagai media penebusan dosa. Bobot dosa atau banyaknya kejahatan yang dilakukan jadi impas dalam kesujudan mengikuti ritual keagamaan yang disertai keyakinan tentang Tuhan Mahabaik, Mahapengasih dan Mahapenyayang yang selalu merangkul kembali hamba-hambanya yang bertobat. Marx dan Freud Maka, apa yang terjadi dalam hidup beragama adalah bahwa agama hanya dijadikan sebagai media ilusif. Ritual-ritual agama pun hanya dijadikan sebagai jalan-jalan solutif untuk bisa keluar dari perangkap krisis moral, sosial, politik, dan ekonomi. Agama lalu menjadi sesuatu yang fungsional belaka dan/atau hanya berperan pragmatis. Efeknya, segala kebobrokan moral bangsa dan lahirnya multikrisis dapat dikatakan sebagai tidak berfungsinya nilai-nilai profetik agama. Agama lalu dihakimi sebagai media suci nan agung yang gagal menghadirkan para pemeluknya dari segala kesulitan hidup. Agama lalu dipraktikkan seperti dalam teori Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori agama yang diajukan Karl Marx dan Sigmund Freud, adalah agama timbul karena hilangnya kepercayaan diri, goyahnya keseimbangan mental dan psikologis, rontoknya keyakinan dan memudarnya pengharapan hidup karena terus-menerus ditimpa penderitaan dan berbagai kesulitan hidup. Ajaran-ajaran agama hanya menawarkan hiburan-hiburan semu dan janji-janji surga. Atau, dalam istilah Marx, agama adalah opium rakyat. Peran agama memang dapat diharapkan mampu menjadi seperangkat nilai etik-moral, di mana para pengikutnya mencari langkah-langkah solusi bagi segala problematika sosial. Agama juga harus dijadikan canggah bagi implementasi nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, agama, bukan saja berorientasi mewujudkan kesalehan diri, tetapi juga kesalehan sosial dan mendorong penyelesaian krisis kemanusiaan. Yang diperlukan adalah kesanggupan para pemeluk agama untuk mengembalikan agama kepada esensi nilai substantif. Nilai-nilai moral agama harus dijadikan sebagai landasan dan pijakan hidup keberagamaan. Di sini, ajaran-ajaran suci dari Tuhan harus dibumikan dalam aksi sosial yang tulus-murni. Artinya, moralitas agama harus diinternalisasikan dan ditransformasikan dalam keseimbangan tiap tindakan moral-sosial dan ekonomi yang intergratif. Perilaku keberagamaan yang tidak diikuti semangat transformasi sosial-ekonomi sebagai implementasi moralitas agama, tidak lain merupakan realitas dari pengerdilan agama oleh para penganutnya. Untuk itu, yang dibutuhkan adalah aksi kedermaan tanpa maksud-maksud tertentu, seperti penebusan dosa atau penghapusan berbagai "cacat moral". Sebab, sebuah semangat etik-filantropi yang tidak tulus ikhlas, sama halnya dengan mendustai agama, sekaligus menyangkal nilai-nilai suci nan agung dan moralitas agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H