Buku ini tidak semata untuk mengisahkan perjalanan hidup penuh liku dan deraian air mata Hafnidar. Tapi lebih dari itu "Sang Tokoh" ingin mendedikasikan buku ini bagi anak-anak dan cucunya.
Banda Aceh - Cengkeraman traumatik bencana ganda; gempa dan tsunami begitu kuat mengunci dalam pikiran Dr. Ir. Hj. Hafnidar A. Rani, ST, M.M, IPU, ASEAN Eng, ACPE, meski tragedi itu sudah berlalu ribuan purnama sejak 26 Desember 2004.
Tak banyak penyintas tsunami sanggup mengunggah kisah hidupnya kepada dunia. Namun, Dr. Hafnidar, memilih membagikan kisah dirinya yang berhasil berjuang dari badai tsunami Aceh dalam buku berjudul: Â Hafnidar, Perempuan Aceh Menerjang Badai, yang ditulis oleh Maskur Abdullah, jurnalis senior dan berpengalaman.
Editor Nurhalim Tanjung didukung Editor Bahasa, Ramadhan MS serta Asisten Penulis, Kamaruddin dan Sulaiman Achmad, buku ini launching di Taman Budaya, Banda Aceh, Senin malam, 26 Desember 2022, bertepatan Peringatan Gempa dan Tsunami Aceh ke-18 Tahun. Kegiatan Unmuha ini diisi juga dengan puisi musikal, paduan suara, dan lain-lain.
Dalam buku ini Maskur Abdullah mencatat, Hafnidar A. Rani adalah salah satu dari sekian banyak penyintas tsunami yang tersisa. Lewat buku ini, Hafnidar berharap bisa menukilkan lini masa hidupnya yang dramatik kepada dunia ketika tsunami hampir saja menenggelamkan raga dan seluruh keluarganya.
Titik haluan Dosen Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha) Banda Aceh ini adalah ingin mengedukasi pembaca bagaimana ia survive menghadapi trauma tsunami yang tertancap di kehidupannya sepanjang 17 tahun terakhir.
"Kisah-kisah itu dia hidupkan kembali bersama kisah keluarganya sesama penyintas," kata editor buku ini, Nurhalim Tanjung.
Di titik yang berbeda, lanjutnya, ia pun mengisahkan betapa beratnya melepas trauma itu. Apalagi pada hentakan gempa dan hempasan tsunami Minggu pagi itu, 26 Desember 2004. Hafnidar harus menyelamatkan empat anaknya; Meutia, Luthfi, Hafidz, dan si bungsu Shafly, 16 bulan.
"Mereka menyaksikan betapa ganasnya gelombang tsunami melompat dan menyapu atap rumah warga Kota Banda Aceh. Ombak "kiamat kecil" itu pun merusak struktur pantai yang dia lintasi hingga barat---selatan Aceh," tulis Nurhalim.
Nurhalim menyampaikan setelah tsunami reda, Hafnidar dan keluarga mesti berjuang mencari perlindungan ke pengungsian. Rumah ayah Hafnidar tak layak huni lagi meski masih berdiri di tempatnya.