Sementara itu, Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Flower Aceh, Ernawati, menegaskan adapun tantangan penerapan UU TPKS yaitu penempatan kasus kekerasan seksual sebagai aib, budaya menyalahkan Korban. Substansi hukum, aturan Pelaksanaa yang dimandatkan UU TPKS (PP DAN PERPRES) belum tersedia, sementara sejumlah terobosan dalam UU TPKS yang memebutuhkan petunjuk operasional
Kemudian, pengaturan tentang penyelanggaraan layanan terpadu di daerah oleh SatKer Bidang pemerintahan P3A, pengaturan pelecehan seksual dan pemerkosaan dalam Qanun Jinayat di Aceh dan keberadaan pasal 72 Qanun Jinayat yang akan menutup peluang untuk diberlakunya UU TPKS dalam penanganan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual di Aceh.
Struktur hukumnya, pemahaman APH tentang kekerasan seksual, kapasitas APH dalam penanganan, ketersediaan sarana dan prasarana, termasuk unit khusus penanganan.
"Jika membahas adat masih ada dikita yaitu mengawin kan dengan pelaku. Bisa dibayangkan korban yang mendapat kekerasan dari pelaku malah dinikahkan dengan orang yang sudah jahat ke korban. Jika dicambuk saja tidak ada jaminan bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Jadi harapannya di Aceh ini segera di tetapkan UU TPKS ini," tegas Erna.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan strategi penghapusan kekeraaan terhadap perempuan dan anak harus dimulai dari dalam keluarga, dan berbasis komunitas yang melibatkan semua pihak di semua tingkatan masyarakat. Jadi dimulai dari diri sendiri dan keluarga agar tidak menjadi korban. Keluarga menjadi pondasi dasar yang memiliki fungsi
 keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan. Jika ketahanan keluarga terwujud, maka akan mampu memberikan perlindungan terhadap anggota keluarga.
"Sikap-sikap peka dan peduli harus di tumbuhkan lagi. Ada poin penting yang ingin kita masukkan ke dalam Qanun Jinayat. salah satunya terkait dengan sumpah, karena jika pelaku bersumpah maka hal tersebut bisa menjadi bukti. Yang penting selanjutnya yaitu restitusi atau pergantian yang dilakukan oleh pelaku kepada korban. Terakhir penghukuman terhadap pelaku harus lebih menjerahkan dan mampu memberikan rasa adil bagi korban" tegas Riswati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H